Indonesia, negara kesatuan yang
memiliki keragaman suku dan budaya serta dengan wilayah yang luas mampu
mendemokratisasikan diri dan mampu mentoleransi segala perbedaan, bahkan
menduduki peringkat pertama negara penduduk islam terbanyak dan terdemokrasi di
dunia. Pencapaian ini tentunya berasal dari pemikiran-pemikiran yang
direalisasikan serta diaplikasikan dengan komitmen masyarakat dan pemerintah
sehingga terjadi demokrasi di Indonesia hingga kini. Pembukaan undang-undang
dasar 1945 menyebutkan bahwa salah satu tujuan bangsa Indonesia adalah
“…mencerdaskan kehidupan bangsa …” dan salah satu buktinya adalah mendidik
putra-putri penerus bangsa dengan pendidikan-pendidikan berasaskan moral
pancasila dan pengetahuan tentang kenegaraan.
Pada masa orde baru, sangat menjunjung
tinggi nilai-nilai pancasila, tetapi mengapa banyak daripada aktivis yang
hilang tiba-tiba setelah mempubikasikan kritiknya terhadap pemerintah?
Bagaimana pendidikan berasaskan moral dan pengetahuan tentang negara diamalkan?
Pendidikan kewarganegaraan pada masa itu sebenarnya ada dan diadakan untuk
pembelajaran di sekolah serta diberlakukan ujian tulis bagi pejabat negara.
Namun, pada praktiknya pendidikan kewarganegaran pada masa itu sekadar membaca
dan mendengarkan saja dengan muatan indoktrinasi,
pencitraan
, dan hanya terkesan sebagai formalitas belaka karena tidak ada praktik nyata bagi siswa dan pegawai pemerintahan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak heran jika kekuasaan pemerintah pada masa itu terkesan aman, damai, dan tentram meski banyak KKN didalamnya, itu semua karena tertutup rapat pintu demokrasi sehingga menutup kemungkinan adanya kritik terhadap pemerintah yang dipublikasikan, serta masyarakat yang terkesan konservatif dengan pencitraan yang ada, dan semakin menikmati keadaan yang diciptakan rezim orde baru. Banyaknya paradigma-paradigma dan sebagai salah satu dari tuntutan demokrasi, pendidikan kewarganegaraan pada masa orde baru dianggap tidak efektif dengan tidak ada kesesuaian hasil yang didapat, terbukti dengan masih maraknya praktik KKN hingga kini. Rusaknya sistem pendidikan dan buruknya pengenalan akan negara dan demokrasi akan berimbas langsung pada praktik ketika siswa/mahasiswa terjun langsung ke dalam masyarakat. Pada masa orde baru jelas hanya mengedepankan knowledge saja dan tidak diterapkannya Disposition dan Skill. Menurut A. Ubaedillah, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjelaskan bahwa Civic Education bukan hanya pengetahuan semata yang didapat dari membaca, mendengarkan, dan berdiskusi, namun Civic Education juga harus mencakup Disposition yang berarti sikap dan kepribadian yang biasanya dikaitkan dengan moral dan nilai-nilai, serta Skill yaitu berkomitmen mengaplikasikan pengetahuan kewarganegaraannya dalam kehidupan sehari-hari seperti berpartisipasi dalam masyarakat, toleransi, dan lain sebagainya.
, dan hanya terkesan sebagai formalitas belaka karena tidak ada praktik nyata bagi siswa dan pegawai pemerintahan dalam kehidupan sehari-hari. Tidak heran jika kekuasaan pemerintah pada masa itu terkesan aman, damai, dan tentram meski banyak KKN didalamnya, itu semua karena tertutup rapat pintu demokrasi sehingga menutup kemungkinan adanya kritik terhadap pemerintah yang dipublikasikan, serta masyarakat yang terkesan konservatif dengan pencitraan yang ada, dan semakin menikmati keadaan yang diciptakan rezim orde baru. Banyaknya paradigma-paradigma dan sebagai salah satu dari tuntutan demokrasi, pendidikan kewarganegaraan pada masa orde baru dianggap tidak efektif dengan tidak ada kesesuaian hasil yang didapat, terbukti dengan masih maraknya praktik KKN hingga kini. Rusaknya sistem pendidikan dan buruknya pengenalan akan negara dan demokrasi akan berimbas langsung pada praktik ketika siswa/mahasiswa terjun langsung ke dalam masyarakat. Pada masa orde baru jelas hanya mengedepankan knowledge saja dan tidak diterapkannya Disposition dan Skill. Menurut A. Ubaedillah, Dosen FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menjelaskan bahwa Civic Education bukan hanya pengetahuan semata yang didapat dari membaca, mendengarkan, dan berdiskusi, namun Civic Education juga harus mencakup Disposition yang berarti sikap dan kepribadian yang biasanya dikaitkan dengan moral dan nilai-nilai, serta Skill yaitu berkomitmen mengaplikasikan pengetahuan kewarganegaraannya dalam kehidupan sehari-hari seperti berpartisipasi dalam masyarakat, toleransi, dan lain sebagainya.
Pasca Pemilu legislatif dan
presiden beberapa bulan yang lalu, banyak evaluasi dilakukan oleh beberapa
anggota DPR dan beberapa politisi. Evaluasi tersebut menghasilkan Wacana (RUU)
yang mengatakan bahwa pemilihan bupati/walikota dilakukan tertutup oleh DPRD
dengan alasan efisiensi anggaran dan efektivitas pelaksanaan. Memilukan ketika mengetahui
bahwa para pendukung wacana ini kebanyakan adalah pendukung partai koalisi yang
kalah dalam pemilu presiden bulan lalu, salah seorang diantaranya adalah Fadli
Zon (Wakil Ketua Umum Partai Gerindra) dalam harian kompas (13/9) mengatakan
“sudah jelas demokrasi menurut sila keempat, demokrasi perwakilan. Kalau mau
pilkada langsung, ubah dulu Pancasila”. Tidak seharusnya mereka mengambil hak
suara yang sudah jelas dilindungi oleh Undang-undang hanya demi kepentingan “aristrokat
yang terhormat” apalagi jika mereka beranggapan bahwa Pancasila harus diubah,
jelas ini adalah penghinaan bagi para pendiri bangsa. Pada kasus ini beberapa
angota DPR dan beberapa politikus memiliki pengetahuan tentang negara serta
sikap bernegara yang baik, namun tidak mereka aplikasikan dalam kehidupan
bernegara, terlebih mereka adalah seorang pembuat kebijakan. Dengan diwakilkannya
suara rakyat secara tertutup oleh DPRD, kemungkinan-kemungkinan buruk terkait
kepentingan politik akan terjadi dalam prosesnya. Untuk mengganti kebijakan tersebut, bisa saja
para pejabat terkait mengadakan evaluasi secara menyeluruh dengan mengundang
beberapa pakar yang memang ahli di bidang sistem pemilu, seperti ahli
informasi, komunikasi, komputerisasi, bahkan sampai ahli geografi sekaligus
untuk membahas perbaikan sistem pemilu kedepannya, karena dengan menghilangkan
pemilu langsung di Indonesia, dengan tegas pejabat yang hanya menjadikan
pancasila sebagai label juga ingin melabelkan masyarakat Indonesia sebagai
“sapi perah” yang hanya memuaskan dahaga kekuasaan mereka. Maka dari itu,
betapa pentingnya pendidikan kewarganegaraan sebagai usaha preventif bangsa dan
negara agar masyarakat Indonesia tidak ‘lagi’ menjadi “sapi perah” bagi para
penguasa. Dengan mengetahui demokrasi secara menyeluruh masyarakat akan memiliki
sikap yang mencerminkan pancasila dengan nilai dan norma didalamnya, serta siap
berpartisipasi dalam masyarakat demi mencapai Indonesia yang lebih baik.
0 comments:
Posting Komentar