Sesuai dengan denifini yang diungkapkan oleh Philipp C. Schmitter tentang demokrasi yaitu suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakannya di wilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil-wakil mereka yang telah terpilih. Indonesia telah mempraktikannya sejak reformasi, padahal sejak lama Indonesia telah mengenal yang namanya demokrasi, hanya saja demokrasi yang diberikan label tambahan yang hanya terbukti sebagai label saja tanpa adanya praktik demokrasi secara benar. Selain itu ada enam norma dalam demokrasi, yaitu kesadaran akan prularisme, musyawarah, cara yang sejalan dengan tujuan, kejujuran dalam kemufakatan, kebebasan nurani dan persamaan hak kewajiban, serta trial and error.
Indonesia telah berusaha menjalankan
norma-norma yang ada dalam mempraktikan demokrasi, berpegang pada tiga prinsip
demokrasi, yaitu pemerintah dari rakyat yang mendapat pengakuan rakyat,
pemerintah oleh rakyat yang menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, lalu
pemerintahan untuk rakyat yang kekuasaannya harus dijalankan untuk kepentingan
rakyat. Indonesia pada nyatanya belum sepenuhnya menjalankan norma atau unsur
pokok yang dibutuhkan dalam tatanan mayarakat yang demokratis. Tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa memang demokrasi adalah cocok digunakan dalam tatanan
masyarakat Indonesia. Polemik yang ada dalam perpolitikan Indonesia sendiri
memang tidak diteliti secara mendalam, hanya berdasarkan kekecewaan terhadap
kekuasaan orde baru yang cenderung berlebihan dan menyalahgunakan kekuasaan, maka di rombaklah sistem
demokrasi dengan menjadikan pemilihan langsung menjadi tidak langsung. Padahal
jika dilihat kembali, tidak ada yang salah dalam sistem tersebut, kesalahan
lebih kepada manusia yang menjalankannya.
Namun semua ini tidaklah salah, karena
dalam demokrasi sendiri terdapat trial
and error yaitu mencoba dan salah, ketika pemerintah membuat kebijakan
seperti yang ada pada paragraf sebelumnya, lalu saat kedepannya terjadi
kesalahan dalam peraturan yang dibuat maka diubahlah peraturan tersebut dengan
peraturan lain yang diajukan oleh pemerintah baru yang dipilih pada saat itu.
Sebenarnya memang ketika kita mencoba hal baru lalu gagal, kita telah
mendewasakan sistem kita dengan mengambil pelajaran dari kesalahan sebelumnya,
tetapi pada kenyataannya, trial and error
yang ada di Indonesia sekarang seolah tidak memiliki konsep yang jelas dan
tidak pasti.
Menurut hemat saya, kegagalan dalam
mencoba kebijakan terletak dari
kurangnya pembenahan dalam hal hubungan legislatif dan eksekutif termasuk kepada lemahnya yudikatif dalam mengawasi jalannya kedua lembaga tersebut. Karena, dalam demokrasi harus ada check and balance, check and balance terjadi jika kedua lembaga ini memiliki kesadaran akan kesejahteraan bangsa. Maka, untuk merealisasikan check and balance, sebaiknya antara DPR sebagai lembaga legislatif dengan presiden dan lembaga kepresidenan lainnya sebagai lembaga eksekutif memberikan hak veto kepada Presiden RI. Sehingga tidak ada lagi pergeseran hal-hal yang tidak semestinya, misalnya ketika ingin menjadi ingin menjadi hakim agung atau menjadi duta besar, harus melalui DPR dengan alasan ada pertimbangan sisi politis dan demokratis, padahal secara tidak langsung telah menggeser tanggung jawab yang seharusnya ada pada eksekutif atau dalam hal ini lembaga kepresidenan yang berwenang. Maka dari itu, mari kita demokratisasi kembali demokrasi kita!
kurangnya pembenahan dalam hal hubungan legislatif dan eksekutif termasuk kepada lemahnya yudikatif dalam mengawasi jalannya kedua lembaga tersebut. Karena, dalam demokrasi harus ada check and balance, check and balance terjadi jika kedua lembaga ini memiliki kesadaran akan kesejahteraan bangsa. Maka, untuk merealisasikan check and balance, sebaiknya antara DPR sebagai lembaga legislatif dengan presiden dan lembaga kepresidenan lainnya sebagai lembaga eksekutif memberikan hak veto kepada Presiden RI. Sehingga tidak ada lagi pergeseran hal-hal yang tidak semestinya, misalnya ketika ingin menjadi ingin menjadi hakim agung atau menjadi duta besar, harus melalui DPR dengan alasan ada pertimbangan sisi politis dan demokratis, padahal secara tidak langsung telah menggeser tanggung jawab yang seharusnya ada pada eksekutif atau dalam hal ini lembaga kepresidenan yang berwenang. Maka dari itu, mari kita demokratisasi kembali demokrasi kita!
0 comments:
Posting Komentar