Rabu, 31 Desember 2014

Berhadapan dengan Cinta

             

 pic by rebubble.com

          Tak terasa sudah begitu jauh hari berganti, menyaksikan tawa dan tangis yang tak terhitung jumlahnya, untuk apa? Bahkan hingga detik ini aku belum tau. Aku berjalan perlahan di trotoar depan kampus bersama letih yang tak kunjung hilang, menjinjing tas tangan yang penuh dengan buku dan tugas-tugas. Dari kejauhan tampak seseorang berjalan menujuku dan tidak hanya itu, ia melambaikan tangannya kepadaku.  Ia tersenyum lebar hingga giginya yang berkawat mengagetkanku, pada awalnya aku tidak yakin dan aku mengira bahwa aku sedang bermimpi, ternyata ia mencubit pipiku dan menyadarkanku bahwa aku tidak sedang bermimpi. Sedang apa dia disini? Mau apa dia denganku? Bukankah ia sudah lupa denganku? Bahkan aku berpikir kalau dia tidak ingat lagi siapa namaku.
            Terakhir aku ingat sudah lama sekali, aku mendapatkan nomor telepon rumahnya dari salah seorang sahabatku, sahabat terbaikku. Ia mendapatkannya dari kantor sekolah saat ia sedang menemui wali kelasnya. Aku kegirangan sampai-sampai lupa jika aku masih menginjakkan kaki di atas tanah, aku merasa sayapku mengembang dan aku hendak terbang. Bahagiaku tak tertahan ketika memegang secarik kertas bertuliskan angka-angka yang menurutku ajaib. Pikiranku bahkan sudah terbang hingga aku lupa apa yang akan aku lakukan dengan angka-angka ini. Sepulang sekolah, sesuai saran sahabatku aku langsung menuju meja telepon tanpa melepas seragam. Aku menekan tuts-tuts mengikuti angka yang tertulis di kertas, suara tuuuut tuuuut tuuuuut banyak sekali hingga pada akhirnya tidak ada jawaban. Sebelum mencoba kedua kali, aku terlebih dahulu melepas seragam dan menggantinya. Aku mencoba menghubunginya kembali hingga pada akhirnya seorang perempuan mengangkat teleponnya dan ia bertanya siapa aku lalu siapa yang aku cari. Berburu-buru aku menjawab tanpa menyebutkan siapa namaku, aku mencari dia.  Wanita itu kemudian berteriak memanggilnya, hatiku ikut berteriak meneriaki namanya juga meneriaki kebodohanku. Aku tergeming, kaku ketika mendengar suaranya yang serak-serak basah, lama ia bertanya-tanya siapa aku tanpa aku menjawabnya, kemudian teleponnya ditutup setelah aku menganga, aku semakin mengutuk kebodohanku.
           
Waktu makan siang, aku sengaja duduk memunggunginya untuk mengetahui apa responnya terhadap panggilan telepon dariku untuknya kemarin. Sahabatku yang juga sahabatnya mendekati dia lalu dengan bodoh sahabatku berbohong jika ia dihubungi dengan orang yang tidak dikenal, ternyata sahabatku berhasil memancingnya untuk mengungkapkan kekecewaannya pada panggilan bodohku, tetapi dia hanya menjawab dingin jika orang itu salah sambung, maka orang itu adalah aku. Pengagum rahasia, aku tidak pernah merasa demikian, tetapi nyatanya aku adalah seorang pengagum rahasia, pengagum rahasia yang bodoh. Kebodohan demi kebodohan kiranya sudah bertumpuk tak terhitung mulai dari hari dimana aku melihat senyumnya.
            Aku tahu dia adalah sosok laki-laki yang setia. Ketika aku baru pertama melihat senyumnya, ia baru saja berpisah dengan kekasihnya yang cantik dan pintar. Ia sangat mencintai gadis tersebut, gadis itu telah banyak mengubahnya ke keadaan yang lebih baik dari sebelumnya, gadis itu segalanya. Meskipun gadis itu menduakannya, ia tetap memberikan perhatian meskipun dari jarak yang sangat jauh, jarak yang tidak akan bisa diperpendek lagi. Mungkin sebagian orang berpikir aku adalah gadis bodoh, mencintai laki-laki yang tidak bisa melupakan kekasih yang tidak lagi mencintainya, bahkan menduakannya. Tetapi aku berharap masih ada sebagian orang lain yang berpikiran sama denganku, bahwa karena kesetiaannya itulah ia menarik perhatianku setelah tersita oleh senyumnya.
            Sadar akan bertumpuknya kebodohan yang aku buat selama ini, aku memutuskan untuk tidak mengingatnya lagi sejak ia lulus sekolah dan melanjutkan ke tempat yang tidak aku ketahui. Tetapi aku salah, ketidakinginanku mengingatnya justru membuat ingatan-ingatan tentang kebodohanku memujanya bebas kembali berkeliaran. Kini hampir lima tahun aku tidak pernah melihat senyumnya lagi, tidak ada orang selain dia yang membuat aku menjadi orang bodoh untuk diriku sendiri, karena itulah kebersamaanku dengan orang lain bukan tanpa alasan. Aku selalu tampak mengerikan jika hanya melulu murung memikirkannya. Tetapi aku tidak bisa apa-apa, aku merasa semakin mengerikan jika melampiaskan kengerianku pada orang lain. Sehingga, setelah aku berpikir tidak ada gunanya bersama orang lain jika alasannya hanya untuk melupakan seseorang yang aku pun tahu ia tak mencintaiku, aku memutuskan untuk menghubunginya dengan segenap kemampuanku, menahan malu.
            Aku menuliskan sepucuk surat, surat yang kutitipkan kepada sahabatku yang juga sahabatnya. Surat yang bertuliskan, “kau, orang asing yang telah mengasingkan aku pada diriku yang semakin asing tanpamu… kau, pemilik senyum yang telah mengambil separuh senyumku dan menghapus sebagian lainnya ketika kau menghilangkan senyummu dari pandanganku… kau, aku tak berharap banyak pada apa yang disebut dengan cinta, apalagi cintamu. Percayalah, meski aku tidak akan pernah dihadapkan pada senyum itu lagi, aku akan selalu menghadapkan cintaku pada kebahagiaanmu, dan jika aku telah mendengar kau bahagia dengan bahagiamu, sesunggunya kau telah mengembalikan senyumku seutuhnya… yang selalu mendoakan kebahagiaanmu… aku”
            Aku meminta sahabatku agar tidak memberitahunya jika aku yang mengirimkan surat itu. Tetapi, sahabatku mengatakan matanya berkaca-kaca ketika sedang membaca surat dariku, sahabatku pun mendengar dia mengatakan bahwa dia tahu aku yang menuliskan surat itu untuknya. Dunia seakan runtuh, aku malu sejadinya, berharap aku hilang ingatan seketika, dan yang paling memilukan adalah ini hal terbodoh dari kebodohanku yang lain meskipun aku tahu ini yang terakhir. Sejak saat itu, kejadian itu menyadaranku betapa tidak seharusnya aku melakukan hal itu. Mempermalukan diri sendiri di depan orang yang seharusnya bahagia dengan hidupnya, sangat tidak pantas aku mengganggu hidupnya, mencampuri kebahagiaannya. Dan hidupku seperti biasa, penuh dengan harapan-harapan semoga ia bahagia dengan bahagianya, dan aku pun turut bahagia dengan apa yang disebut kemunafikan.
            Sekarang setelah semua yang terjadi, dua tahun setelah surat bodoh itu sampai di tangannya, ia ada dihadapanku mencubit pipiku, nyengir dengan bebasnya! Tidakkah ia sadar jika ia sedang bahagia diatas kepingan hati yang sedang aku susun kembali? Tidakkah ia melihat mataku yang setengah berair? Jika aku tidak sedang bermimpi, pasti ia salah orang. Aku yakin dia salah orang!  Aku sedikit terisak menyebut namanya, menanyakannya –tidak tidak, aku menyadarkannya bahwa dia salah orang. Ia diam tanpa ekspresi dan aku menunduk, aku pikir ia telah sadar bahwa ia salah orang. Beberapa menit kemudian, ia mengangkat daguku dan menatapku sendu, tangannya yang lain menunjukkan surat yang kuberikan.
            “Aku ingin membalas surat ini…”
            Aku masih diam…
            “Aku tidak yakin kau dapat menerima ini semua jika hanya surat balasan yang kau terima…”
            Aku diam dan bingung…
            “Aku memang orang asing, kau yang mengasingkanku dengan memilih pindah ke pengasinganmu, mimpimu. Aku tidak yakin bisa bahagia jika aku tidak bertemu denganmu, itu artinya aku tidak dapat mengembalikan senyummu. Selain itu, selama ini cinta kita berhadapan tetapi bagaimana kau bisa tidak tahu?”
            Dengan lirih aku bertanya, “Tapi, bagaimana bisa?”
            “Sahabatmu, yang juga sahabatku… bodohnya aku, aku selalu mengira kau mencintainya karena kau selalu bersamanya… kekasihku yang terakhir, aku menyudahi hubungan itu bukan karena ia menduakanku, tetapi aku mengatakan bahwa aku menyukai kau dan ia mengizinkannya karena ia juga menyukai orang lain. Bukan dia yang mengubah banyak perilakuku, tapi aku sendiri berkat senyummu yang selalu kau berikan setiap bertemu denganku, bahkan tanpa kau tau, aku mencurinya. Selama ini aku mencarimu, kau sangat sulit dihubungi. Setelah suratmu sampai, aku sadar sahabatmu bukanlah lelakimu. sayangnya dua tahun terakhir aku harus menyelesaikan studiku, jadi baru sekarang aku bisa menghubungimu.”
            “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan.” Air mataku meleleh…
            Ia melanjutkan “Satu alasanku mendatangimu dan menunggumu selama ini, aku ingin selalu menghadapkan cintaku padamu…”

1 komentar: