Pancasila adalah ideologi yang menjadikan bangsa Indonesia dulu, kini, dan nanti tetap berada pada satu garis haluan. Indonesia adalah negara kepulauan yang besar dengan heterogenitas yang tinggi. Suku, agama, dan ras yang beragam menjadikan Indonesia kaya akan budaya, jika tidak memiliki satu haluan yang sama, kemungkinan besar perpecahan akan sangat mudah terjadi. Para pendiri bangsa sekali lagi “menyelamatkan” bangsa ini melalui pemikiran-pemikiran yang jenius setelah perjuangannya melawan penjajah. Sebelum lahirnya pancasila, terdapat dialog-dialog serta diskusi-diskusi demi terancang dan terciptanya sebuah pegangan hidup yang berdasar pada kepribadian bangsa, maka pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan dasar negara yang terdiri dari 5 sila dengan istilah Pancasila.
Sebagai warga negara yang mencintai
bangsa dan negaranya, sudah seharusnya kita menjiwai butir-butir pancasila dan
mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dan
pemerintah hendaknya melembagakan nilai-nilai tersebut agar sejalan dengan
tujuan yang ingin dicapai, serta yang terpenting adalah jangan sampai salah
menafsirkan pancasila hanya sebagai asas tunggal. Hal ini terjadi pada masa
orba, ketika itu pancasila tetap pada rumusannya pada saat dirumuskan, hanya saja
penafsiran sendiri dengan
menjadikannya asas tunggal sehingga banyak organisasi politik atau organisasi
masyarakat tidak boleh memakai ciri khas ideologi untuk lingkungannya. Hal ini
tentu saja terkesan pancasila hanya milik satu organisasi politik atau
organisasi masyarakat saja, atau juga bisa dikatakan hanya milik penguasa saja.
Pemahaman demi pemahaman terhadap
penerapan butir-butir pancasila harus selalu digiatkan dalam pendidikan formal
maupun pendidikan non-formal. Banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang
terjadi mengatasnamakan
pancasila kepentingan bersama, bahkan sampai ada yang beranggapan bahwa pancasila sudah tidak relevan lagi
untuk digunakan bangsa indonesia saat ini. Meskipun sejak pembentukan pancasila
banyak juga polemik yang terjadi antara penganut aliran islam-formal dengan
kalangan nasionalis-sekuler, perdebatan ini cukup lama hingga pada 1968 dengan
keluarnya inpres 12 menegaskan bahwa pancasila yang berlaku berdasarkan Dekrit
presiden 5 Juli 1959 itu adalah pancasila sebagaimana tercantum dalam
UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI 18 Agustus 1945. Meskipun demikian, pancasila
mampu mempertahankan eksistensinya sebagai ideologi bangsa dan dengan
nilai-nilai yang berkesesuaian dengan agama dan budaya yang dianut bangsa
Indonesia sejak dulu. Selain itu, hal ini menjadi bukti bahwa pancasila tidak
dibuat oleh seorang atau segolongan saja, melainkan karya bersama.
Sebagai ideologi terbuka, pancasila
mampu menerima berbagai kemajuan-kemajuan yang ada dengan tidak menghilangkan
elegansi yang dijunjung masyarakat indonesia beradab. Kedepannya, kemajuan atau
globalisasi bukan menjadi sebuah masalah bagi persatuan bangsa jika pancasila
tetap pada posisinya sebagai pegangan hidup bangsa. Penyimpangan-penyimpangan
yang terjadi sejatinya dapat diselesaikan dengan lembaga-lembaga berwenang jika
nilai-nilai pancasila dalam peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan
baik. Ketegasan amat diperlukan, jika terdapat banyak pelanggaran dan
penyimpangan bukan berarti para pelaku tidak mengetahui butir-butir pancasila,
tetapi mereka tidak mengamalkannya. Sama saja dengan orang yang tahu bahwa ada
lubang di sebuah jalan namun tidak menghindarinya dan membuat orang terjatuh.
Menurut saya, gagasan merevitalisasi
nilai-nilai pancasila harus sejalan dengan merevitalisasi sejarah, selain erat
kaitannya antara sejarah dan pancasila, revitalisasi sejarah amat penting
akhir-akhir ini karena kurangnya penghargaan semangat perjuangan bangsa. Jangan sampai kesalahan-kesalahan yang ada tidak terulang
kembali, dan pancasila tetap kokoh duduk pada singgasananya. Karena bangsa yang
besar dan maju adalah bangsa yang mengingat sejarahnya. Pancasila sangat erat
akan nilai ke-Indonesiaan yang tetap menjadikan manusia
indonesia menjadi indonesia bersatu mencapai tujuan dan cita-cita bangsa
indonesia.
Untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang
ingin dicapai, ketika kita melaksanakan tugas sebagai warga negara, sebagai pemegang
kekuasaan atas kebijakan ataupun hanya sebagai
masyarakat biasa, tentu kita harus menggunakan cara yang baik dan sesuai. Sebagaimana
tujuan Indonesia dalam UUD 1945, “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia” maka seharusnya
cara-cara yang digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan itu adalah harus sesuai
dengan tujuannya. Selain berpatokan secara tekstual dan kontekstual pada 4
pilar bernegara, kita sebagai warga negara juga harus mengetahui sejauh mana cara yang digunakan para
pendahulu kita dalam bernegara, apakah berkesesuaian dengan tujuan yang hendak
dicapai atau malah memiliki tujuan lain sehingga cara yang digunakan adalah tidak
sesuai dengan tujuan yang diinginkan.
Cara-cara yang digunakan oleh para pendiri
bangsa dalam mewujudkan tujuan mulia dapat kita ketahui melalui sejarah, yang
dituliskan melalui sumber-sember lisan maupun tulisan. Berkaitan dengan
pancasila, yang diagungkan nilai-nilainya, tetapi tidak dimaksimalkan
pengaplikasiannya adalah gambaran tentang ketidaktahuan kita sebagai masyarakat
yang menjalankan pancasila dalam mewujudkan cita-cita dan tidak mengetahui
bagaimana cara yang dilakukan para pendahulu yang baik dan sesuai, maka dari
itu kita perlu memikir ulang historiografi Indonesia agar dapat menghidupkan
kembali nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sehingga
ketika nilai-nilai dalam sejarah perjuangan tertanam dengan baik, nilai-nilai
pancasila pun akan mudah dihidupkan kembali.
Menuliskan sejarah, terutama sejarah
nasional, bukan sekadar kegiatan intelektual atau akademis, tetapi juga
kegiatan yang bermakna politis. Maka, kegiatan ini sering kali menjadi tanda
bahwa sejarah yang dituliskan tergantung pada penguasaan terhadap sejumlah
sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan
sirkulasi pengetahuan masa lalu, serta bagaimana sejarah itu berupa bagian dari
dinamika hubungan kekuasaan. Menurut Trouillot, “Permainan kekuasaan dalam
penyusunan narasi-narasi alternative diawali dengan penciptaan fakta maupun
sumber” (1995:29). Maksudnya adalah bahwa penguasa berkuasa atas sejarah yang
dituliskan. Misalnya, telah dilaksanakan konferensi sejarah Indonesia pada
1970, dan terbitlah buku sejarah nasional ini pada 1975. Namun, dari semua hal
pokok dalam sejarah, dalam buku ini tidak terdapat bab tentang ekonomi sama
sekali. Nah, hal ini yang akan menyulitkan kita mempelajari bagaimana
perekonomian berkembang pada masa itu.
Pada
masa orde baru, penulisan sejarah juga bertujuan memperkenalkan sejarah kepada
para pelajar. Buku-buku pelajaran sekolah merupakan dasar untuk mengembangkan
kesadaran sejarah dan kesadaran nasional sebagaimana dilihat oleh negara. Dalam
buku-buku sejarah itu memiliki argumen utama yang mencerminkan obsesi utama
orde baru adalah “kesatuan yang terpimpin” menghasilkan kemakmuran sedangkan
perpecahan mengakibatkan kekacauan dan kemunduran. Ini disajikan melalui
serangkaian “fakta sejarah yang benar” yang
mengandung makna moral. Oleh karena, “fakta-fakta” ini beserta implikasi
moralnya terkait erat dengan masa depan negara, maka “fakta-fakta” yang
disajikan ini jauh sekali dari pengalaman sejarah rakyat jelata. Sehingga bagi
rakyat jelata, tidak ada sejarah baginya.
Tidak salah jika banyak masyarakat yang
keliru dengan identitas nasional kenegaraan mereka meskipun telah dikenalkan
selama masa pendidikan. Bisa disimpulkan bahwa kekeliruan ini disebabkan oleh
kekeliruan sejarah dalam memperkenalkan diri sebagai dasar kesadaran bernegara
Terlebih diperparah setelah reformasi dilangsungkan. Kekeliruan-kekeliruan ini
sayangnya tidak hanya terjadi dalam kehidupan kecil yang sempit, melainkan meluas
sampai kepada segala aspek kehidupan bernegara yang mencakup eksekutif,
legislatif, dan yudikatif dalam pemerintahan. Kekeliruan ini membuat mereka
menghalalkan cara yang sebenarnya tidak baik. Hal ini mengindikasikan dua hal,
pertama bahwa kurangnya kesadaran dalam melaksanakan nilai-nilai sejarah
sehingga tidak dapat memahami identitas negara dalam hal ini pancasila, dan
yang kedua adalah data-data sejarah yang memang jauh dari fakta-fakta yang
tidak dibuat-buat.
Meskipun setelah Suharto jatuh pada Mei
1998, sejarah nasional menurut versi Suharto tidak dapat lagi dipercaya, namun
sejarah alternatif belum muncul. Kegagapan akan identitas menurut saya sangat
mengkhawatirkan, dibarengi dengan euforia yang berlebihan akan kebebasan.
Kegagapan ini karena kenyataan bahwa persoalan-persoalan kredibiitas
diperdebatkan di arena publik akan keaslian sejarah yang dituliskan pada masa
orde baru. Di seluruh Indonesia, akhir-akhir ini para guru sulit menjawab
beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan awal masa orde baru, bukan
dikarenakan kurangnya intelektual sang guru, melainkan rancunya sumber-sumber
sejarah nasional resmi yang ada. Misalnya, meski tidak berakar pada orde baru,
bagian dari buku-buku sumber sejarah itu sama dan tidak mengalami perubahan,
maka dari itu bagian-bagian ini menurut harian
Kompas (1/7/2005) dan Sinar Harapan
(5/7/2005) tampak seperti berada di luar Indonesia karena boleh dikatakan
tidak dikaitkan dengan pelaku, politik, maupun waktu tertentu.
Menurut analisa saya terhadap referensi
yang saya dapatkan, sejarah dianggap sebagai dasar yang fungsinya untuk memperkokoh
identitas nasional dan kolektif. Keterkaitan antara kurangnya pengaplikasian
nilai-nilai pancasila sebagai identitas negara berasal dari sejarah yang hanya
ditulis dan disebarluaskan berdasar keinginan penguasa pada masa itu sehingga
sulit bagi kita sebagai penerus bangsa dalam mengetahui identitas kita dengan
baik, dan revitalisasi pancasila yang kini tengah digiatkan semoga bukan hanya
menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang verbalisme semata. Maka dari itu, kita perlu memikir ulang
historiografi Indonesia agar dapat menghidupkan kembali nilai-nilai yang
terkandung dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dan kita dapat kembali
menghidupkan nilai-nilai identitas kita, Pancasila.
*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*
0 comments:
Posting Komentar