Jumat, 08 Mei 2015

Esai : Revitalisasi Sejarah Identitas Nasional



Pancasila adalah ideologi yang menjadikan bangsa Indonesia dulu, kini, dan nanti tetap berada pada satu garis haluan. Indonesia adalah negara kepulauan yang besar dengan heterogenitas yang tinggi. Suku, agama, dan ras yang beragam menjadikan Indonesia kaya akan budaya, jika tidak memiliki satu haluan yang sama, kemungkinan besar perpecahan akan sangat mudah terjadi. Para pendiri bangsa sekali lagi “menyelamatkan” bangsa ini melalui pemikiran-pemikiran yang jenius setelah perjuangannya melawan penjajah. Sebelum lahirnya pancasila, terdapat dialog-dialog serta diskusi-diskusi demi terancang dan terciptanya sebuah pegangan hidup yang berdasar pada kepribadian bangsa, maka pada 1 Juni 1945, Ir. Soekarno mengusulkan dasar negara yang terdiri dari 5 sila dengan istilah Pancasila.
Sebagai warga negara yang mencintai bangsa dan negaranya, sudah seharusnya kita menjiwai butir-butir pancasila dan mengaplikasikan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Dan pemerintah hendaknya melembagakan nilai-nilai tersebut agar sejalan dengan tujuan yang ingin dicapai, serta yang terpenting adalah jangan sampai salah menafsirkan pancasila hanya sebagai asas tunggal. Hal ini terjadi pada masa orba, ketika itu pancasila tetap pada rumusannya pada saat dirumuskan, hanya saja penafsiran sendiri dengan menjadikannya asas tunggal sehingga banyak organisasi politik atau organisasi masyarakat tidak boleh memakai ciri khas ideologi untuk lingkungannya. Hal ini tentu saja terkesan pancasila hanya milik satu organisasi politik atau organisasi masyarakat saja, atau juga bisa dikatakan hanya milik penguasa saja.
Pemahaman demi pemahaman terhadap penerapan butir-butir pancasila harus selalu digiatkan dalam pendidikan formal maupun pendidikan non-formal. Banyak sekali penyimpangan-penyimpangan yang terjadi mengatasnamakan pancasila kepentingan bersama, bahkan sampai ada yang beranggapan  bahwa pancasila sudah tidak relevan lagi untuk digunakan bangsa indonesia saat ini. Meskipun sejak pembentukan pancasila banyak juga polemik yang terjadi antara penganut aliran islam-formal dengan kalangan nasionalis-sekuler, perdebatan ini cukup lama hingga pada 1968 dengan keluarnya inpres 12 menegaskan bahwa pancasila yang berlaku berdasarkan Dekrit presiden 5 Juli 1959 itu adalah pancasila sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPKI 18 Agustus 1945. Meskipun demikian, pancasila mampu mempertahankan eksistensinya sebagai ideologi bangsa dan dengan nilai-nilai yang berkesesuaian dengan agama dan budaya yang dianut bangsa Indonesia sejak dulu. Selain itu, hal ini menjadi bukti bahwa pancasila tidak dibuat oleh seorang atau segolongan saja, melainkan karya bersama. 

Sebagai ideologi terbuka, pancasila mampu menerima berbagai kemajuan-kemajuan yang ada dengan tidak menghilangkan elegansi yang dijunjung masyarakat indonesia beradab. Kedepannya, kemajuan atau globalisasi bukan menjadi sebuah masalah bagi persatuan bangsa jika pancasila tetap pada posisinya sebagai pegangan hidup bangsa. Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi sejatinya dapat diselesaikan dengan lembaga-lembaga berwenang jika nilai-nilai pancasila dalam peraturan perundang-undangan dilaksanakan dengan baik. Ketegasan amat diperlukan, jika terdapat banyak pelanggaran dan penyimpangan bukan berarti para pelaku tidak mengetahui butir-butir pancasila, tetapi mereka tidak mengamalkannya. Sama saja dengan orang yang tahu bahwa ada lubang di sebuah jalan namun tidak menghindarinya dan membuat orang terjatuh.
Menurut saya, gagasan merevitalisasi nilai-nilai pancasila harus sejalan dengan merevitalisasi sejarah, selain erat kaitannya antara sejarah dan pancasila, revitalisasi sejarah amat penting akhir-akhir ini karena kurangnya penghargaan semangat perjuangan bangsa. Jangan sampai kesalahan-kesalahan yang ada tidak terulang kembali, dan pancasila tetap kokoh duduk pada singgasananya. Karena bangsa yang besar dan maju adalah bangsa yang mengingat sejarahnya. Pancasila sangat erat akan nilai ke-Indonesiaan yang tetap menjadikan manusia indonesia menjadi indonesia bersatu mencapai tujuan dan cita-cita bangsa indonesia.
Untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang ingin dicapai, ketika kita melaksanakan tugas sebagai warga negara, sebagai pemegang kekuasaan atas kebijakan ataupun hanya sebagai masyarakat biasa, tentu kita harus menggunakan cara yang baik dan sesuai. Sebagaimana tujuan Indonesia dalam UUD 1945, “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia” maka seharusnya cara-cara yang digunakan dalam mencapai tujuan-tujuan itu adalah harus sesuai dengan tujuannya. Selain berpatokan secara tekstual dan kontekstual pada 4 pilar bernegara, kita sebagai warga negara juga harus mengetahui sejauh mana cara yang digunakan para pendahulu kita dalam bernegara, apakah berkesesuaian dengan tujuan yang hendak dicapai atau malah memiliki tujuan lain sehingga cara yang digunakan adalah tidak sesuai dengan tujuan yang diinginkan. 
Cara-cara yang digunakan oleh para pendiri bangsa dalam mewujudkan tujuan mulia dapat kita ketahui melalui sejarah, yang dituliskan melalui sumber-sember lisan maupun tulisan. Berkaitan dengan pancasila, yang diagungkan nilai-nilainya, tetapi tidak dimaksimalkan pengaplikasiannya adalah gambaran tentang ketidaktahuan kita sebagai masyarakat yang menjalankan pancasila dalam mewujudkan cita-cita dan tidak mengetahui bagaimana cara yang dilakukan para pendahulu yang baik dan sesuai, maka dari itu kita perlu memikir ulang historiografi Indonesia agar dapat menghidupkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Sehingga ketika nilai-nilai dalam sejarah perjuangan tertanam dengan baik, nilai-nilai pancasila pun akan mudah dihidupkan kembali.
Menuliskan sejarah, terutama sejarah nasional, bukan sekadar kegiatan intelektual atau akademis, tetapi juga kegiatan yang bermakna politis. Maka, kegiatan ini sering kali menjadi tanda bahwa sejarah yang dituliskan tergantung pada penguasaan terhadap sejumlah sumber daya institusional yang memungkinkan rekonstruksi, produksi, dan sirkulasi pengetahuan masa lalu, serta bagaimana sejarah itu berupa bagian dari dinamika hubungan kekuasaan. Menurut  Trouillot, “Permainan kekuasaan dalam penyusunan narasi-narasi alternative diawali dengan penciptaan fakta maupun sumber” (1995:29). Maksudnya adalah bahwa penguasa berkuasa atas sejarah yang dituliskan. Misalnya, telah dilaksanakan konferensi sejarah Indonesia pada 1970, dan terbitlah buku sejarah nasional ini pada 1975. Namun, dari semua hal pokok dalam sejarah, dalam buku ini tidak terdapat bab tentang ekonomi sama sekali. Nah, hal ini yang akan menyulitkan kita mempelajari bagaimana perekonomian berkembang pada masa itu.
        Pada masa orde baru, penulisan sejarah juga bertujuan memperkenalkan sejarah kepada para pelajar. Buku-buku pelajaran sekolah merupakan dasar untuk mengembangkan kesadaran sejarah dan kesadaran nasional sebagaimana dilihat oleh negara. Dalam buku-buku sejarah itu memiliki argumen utama yang mencerminkan obsesi utama orde baru adalah “kesatuan yang terpimpin” menghasilkan kemakmuran sedangkan perpecahan mengakibatkan kekacauan dan kemunduran. Ini disajikan melalui serangkaian “fakta sejarah yang benar” yang  mengandung makna moral. Oleh karena, “fakta-fakta” ini beserta implikasi moralnya terkait erat dengan masa depan negara, maka “fakta-fakta” yang disajikan ini jauh sekali dari pengalaman sejarah rakyat jelata. Sehingga bagi rakyat jelata, tidak ada sejarah baginya.
Tidak salah jika banyak masyarakat yang keliru dengan identitas nasional kenegaraan mereka meskipun telah dikenalkan selama masa pendidikan. Bisa disimpulkan bahwa kekeliruan ini disebabkan oleh kekeliruan sejarah dalam memperkenalkan diri sebagai dasar kesadaran bernegara Terlebih diperparah setelah reformasi dilangsungkan. Kekeliruan-kekeliruan ini sayangnya tidak hanya terjadi dalam kehidupan kecil yang sempit, melainkan meluas sampai kepada segala aspek kehidupan bernegara yang mencakup eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam pemerintahan. Kekeliruan ini membuat mereka menghalalkan cara yang sebenarnya tidak baik. Hal ini mengindikasikan dua hal, pertama bahwa kurangnya kesadaran dalam melaksanakan nilai-nilai sejarah sehingga tidak dapat memahami identitas negara dalam hal ini pancasila, dan yang kedua adalah data-data sejarah yang memang jauh dari fakta-fakta yang tidak dibuat-buat.
Meskipun setelah Suharto jatuh pada Mei 1998, sejarah nasional menurut versi Suharto tidak dapat lagi dipercaya, namun sejarah alternatif belum muncul. Kegagapan akan identitas menurut saya sangat mengkhawatirkan, dibarengi dengan euforia yang berlebihan akan kebebasan. Kegagapan ini karena kenyataan bahwa persoalan-persoalan kredibiitas diperdebatkan di arena publik akan keaslian sejarah yang dituliskan pada masa orde baru. Di seluruh Indonesia, akhir-akhir ini para guru sulit menjawab beberapa pertanyaan yang berkaitan dengan awal masa orde baru, bukan dikarenakan kurangnya intelektual sang guru, melainkan rancunya sumber-sumber sejarah nasional resmi yang ada. Misalnya, meski tidak berakar pada orde baru, bagian dari buku-buku sumber sejarah itu sama dan tidak mengalami perubahan, maka dari itu bagian-bagian ini menurut harian Kompas (1/7/2005) dan Sinar Harapan (5/7/2005) tampak seperti berada di luar Indonesia karena boleh dikatakan tidak dikaitkan dengan pelaku, politik, maupun waktu tertentu.
Menurut analisa saya terhadap referensi yang saya dapatkan, sejarah dianggap sebagai dasar yang fungsinya untuk memperkokoh identitas nasional dan kolektif. Keterkaitan antara kurangnya pengaplikasian nilai-nilai pancasila sebagai identitas negara berasal dari sejarah yang hanya ditulis dan disebarluaskan berdasar keinginan penguasa pada masa itu sehingga sulit bagi kita sebagai penerus bangsa dalam mengetahui identitas kita dengan baik, dan revitalisasi pancasila yang kini tengah digiatkan semoga bukan hanya menjadikan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang verbalisme semata.  Maka dari itu, kita perlu memikir ulang historiografi Indonesia agar dapat menghidupkan kembali nilai-nilai yang terkandung dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, dan kita dapat kembali menghidupkan nilai-nilai identitas kita, Pancasila.

*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*
This entry was posted in

0 comments:

Posting Komentar