Kabupaten Bekasi seumur-umur tidak pernah mendapatkan piala Adipura, piala yang diperuntukkan bagi daerah yang bersih. Bukan karena tidak ingin, namun Kabupaten berkali-kali gagal meraih piala tersebut dikarenakan semrawutnya penataan wilayah dan persoalan sampah yang sepertinya belum menemukan titik terang hingga kini. Apalagi ditambah dengan kurangnya kesadaran masyarakat dan minimnya fasilitas pembuangan atau pengelolaan sampah yang disediakan pemerintah.
Maret 2015 Kabupaten Bekasi meraih prediket sebagai kota terkotor kedua di Jawa Barat. Meskipun begitu, Kabupaten Bekasi hanya naik satu peringkat dari tahun 2014 menduduki prediket pertama Kota terkotor di Jawa Barat. Permsalahan sampah dan buruknya kondisi pasar tidak hanya menjadi tanggung jawab BPLHD, tetapi juga dengan dinas terkait. BPLHD akan terus berkoordinasi dengan dinas pasar dan dinas kebersihan untuk meningkatkan penilaian Adipura.
Menurut saya penilaian Adipura hanya sebatas simbol, bahkan hal itu bisa saja dijadikan alat politik pemerintah dan lain-lain, tetapi dampak yang ditimbulkan dari buruknya pengelolaan sampah ini lebih berbahaya yaitu bahaya kesehatan dan ketidaknyamanan masyarakat dalam beraktivitas sehari-hari. Apakah jika hal ini terus berlanjut menandakan bahwa Kabupaten Bekasi tidak memiliki peraturan atau perundang-undangan yang mengikat sampai-sampai tidak ada tindakan yang dilakukan aparat penegak hukum atau pelaksana hukum. Atau jika memang ada hukum yang mengatur, lantas bagaimana pelaksanaannya hingga julukan Kota terkotor bisa berturut-turur disandang Kabupaten Bekasi?
Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk memaparkan salah satu pelanggaran asas-asas hukum menurut Fuller yang menyebabkan hukum-hukum yang ada di Kabupaten Bekasi khususnya tidak berfungsi secara maksimal bahkan terkesan “diabaikan”. Lalu akan dijelaskan juga apa saja pelanggaran hukum beserta peraturan apa yang dilanggar serta bukti fisik pelanggaran tersebut.
Kerangka Pemikiran Teori
Kerangka teori yang digunakan untuk menganalisis kasus-kasus yang berfokus pada masalah berupa penyimpangan dalam pelaksanaan hukum tentang kebersihan yang berupa undang-undang dan peraturan pemerintah Kabupaten Bekasi, sehingga perlu dijelaskan secara terperinci tentang Asas-asas hukum, serta beberapa teori tentang penyimpangan hukum. Kerangka teori diambil dari tokoh-tokoh termuka di antaranya, Lon Fuller, Jan M. Otto, dan E. H Sutherland. Sehingga memudahkan pemakalah dalam menganalisis masalah dalam pelaksanaan hukum yang dalam hal ini disudutkan pada pernasalahan penyediaan layanan kebersihan meski sudah jelas undang-undang dan peraturan daerah kabupaten Bekasi yang mengaturnya.
Pembahasan

Fenomena ini bukan baru dirasakan di daerah ini, sudah kurang lebih lima tahun yang lalu. Pertama kali fenomena ini hanya terdapat di satu titik tempat yang menjadi jalan alternative menuju Jakarta yang masih terbilang sepi. Namun, fenomena dan kebiasaan buruk ini melebar hamper di setiap sisi jalan daerah ini. Padahal dalam hal ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah Kabupaten telah memiliki peraturan yang mengatur tentang hal ini dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah dan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi nomor 6 tahun 2006 tentang perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi nomor 4 tahun 1999 tentang retribusi pelayanan persampahan/kebersihan.
Pengelolaan sampah merupakan tugas dan wewenang pemerintah, seperti yang dijelaskan dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 18 tahun 2008 tentang pengelolaan sampah, BAB III
Bagian pertama
Tugas dan kewenangan pemerintah
Pasal 5
Pemerintah dan pemerintahan daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. (yang selanjutnya dijelaskan dalam pasal 6-7)
Bagian keempat
Kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota
Pasal 9
(1) Dalam menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan kabupaten/kota mempunyai kewenangan:
a. menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan nasional dan provinsi;
b. menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah;
c. melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan oleh pihak lain;
d. menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah;
e. melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20 (dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup; dan
f. menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan sampah sesuai dengan kewenangannya.
Sudah sangat jelas dikatakan dalam undang-undang ini terutama Pasal 9, dari mulai a sampai f merupakan wewenang dan secara langsung adalah kewajiban pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal ini Kabupaten Bekasi dalam mengelola sampah yang ada di wilayah Kabupaten Bekasi. Namun, hingga makalah ini ditulis, belum ada gerakan nyata pemerintah Kabupaten Bekasi dalam menangani permasalahan ini. Bisa saya jabarkan ketidaksesuaian peraturan yang ada dengan kenyataan di lapangan yang selama ini saya perhatikan dan rasakan:
a. adanya kebijakan tidak dibarengi dengan adanya strategi dan tindakan nyata dari pemerintah Kabupaten Bekasi.
b. tidak ada pelenggaraan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota yang sesuai dengan norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh pemerintah; karena masih sangat banyak ditemukan sampah-sampah di sisi jalan yang semakin hari semakin banyak, dan di pasar tradisional hanya banyak pungli berkedok petugas kebersihan
c. tidak adanya pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang dilaksanakan oleh pihak lain bahkan pemerintah tidak pernah melakukan itu secara berkala;
d. tidak adanya lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan sampah terpadu yang berada sangat jauh, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah yang entah berada dimana;terutama di desa Babelan yang notabene jauh dari kantor kantor Kabupaten,
e. jika ada pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan selama 20 (dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup; tetapi mengapa masih “menggunung” sampah yang ada di sisi jalan? Tentu bukanlah sebuah pertanyaan jika sebelumnya kita tahu bahwa pemerintah Kabupaten Bekasi tidak serius dalam masalah pengelolaan sampah di Kabupaten Bekasi, khususnya daerah Babelan dan sekitarnya.
Pengelolaan sampah bukanlah tugas dan wewenang pemerintah Kabupaten Bekasi saja, melainkan seluruh warga Kabupaten Bekasi itu sendiri. Pemerintah Kabupaten Bekasi sudah memberikan larangan dan kewajiban masyarakat dalam mengelola sampah dan mematuhi peraturan tentang pengelolaan sampah yang ada dalam Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi nomor 4 tahun 1999 tentang retribusi pelayanan persampahan/kebersihan BAB XIV tentang Larangan dan Kewajiban:
Pasal 17 A
Bagi perorangan/badan yang mengambil, mengangkut dan membuang sampah yang dihasilkan pihak lain (pabrik / industry / rumah sakit / Restoran / Hotel / Permukiman / Perumahan dan lainnya) harus mendapat izin / rekomendasi dari Pemerintah Kabupaten Bekasi;
Pasal 17 B
Setiap perorangan/badan dilarang membuang sampah di sembarang tempat atau lokasi yang tidak diperuntukkan sebagai Tempat Pembuangan Sampah (TPS).
Pasal 17 C
Setiap Badan Hukum diwajibkan untuk menyediakan Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) di lingkungan perusahaan tersebut yang penempatannya harus mendapat persetujuan dari Dinas terkait.
Pasal 18
Barangsiapa melanggar Pasal 7, Pasal 17 A, Pasal 17 B dan Pasal 17 C diancam pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
Dalam hal ini, bukanlah sepenuhnya kesalahan pemerintah Kabupaten Bekasi, meskipun memang kewenangan dan kewajiban yang disebutkan sebelumnya belum terpenuhi. Namun, masyarakat di daerah Babelan dan sekitarnya seperti tidak memahami dan memiliki kecenderungan untuk menyimpang atau menyalahi peraturan yang sudah ditentukan. Seperti yang disebutkan dalam Teori Differential Association dari E. H Sutherland. Yaitu, (1) perbedaan asosiasi cenderung membentuk perbedaan kepribadian manusia dalam pergaulan kelompoknya. Dengan kata lain bahwa asosisi yang tertib akan mewarnai kepribadian individunya untuk mentaati hukum, sebalikya assosiasi yang tidak tertib akan berpengaruh terhadap kepribadian individunya untuk menyetujui pelanggaran atau menyimpang dari undang-undang. (2) Seseorang melakukan pelanggaran hukum karena pergaulan kelompoknya individu lebih menyetujui pelanggaran hukum daripada perbuatan mentaati hukum.
Analisis saya terhadap masyarakat perumahan yang baru menetap di daerah Kabupaten Bekasi tepatnya di Babelan atau masyarakat asli daerah tersebut selain mereka tidak mengetahui peraturan yang ada, beberapa dari mereka juga (sesuai dengan teori di atas) merupakan asosiasi yang tidak tertib sehingga menyetujui pelanggaran atau penyimpangan, atau bahkan pelanggaran tersebut disetujui, karena mereka berpikir jika bukan dibuang di sini lalu dimana? sedangkan pemerintah tidak menyediakannya.
Maka, Terjadi kegagalan hukum yang mengatur pengelolaan sampah di sini, sesuai dengan asas hukum yang disebutkan oleh Lon Fuller dalam bukunya the Morality of Law (1971 : 54-58) mengajukan 8 (delapan) asas yang harus dipenuhi oleh hukum, yang apabila tidak terpenuhi, maka hukum akan gagal untuk disebut sebagai hukum, atau dengan kata lain harus terdapat kepastian hukum. Kedelapan asas tersebut adalah sebagai berikut :
1) Suatu sistem hukum yang terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu;
2) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik;
3) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem;
4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum;
5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan;
6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan;
7) Tidak boleh sering diubah-ubah;
8) Harus ada kesesuaian antara peraturan dan pelaksanaan sehari-hari.
Pendapat Lon Fuller di atas dapat dikatakan bahwa harus ada kepastian antara peraturan dan pelaksanaannya, dengan demikian sudah memasuki ranah aksi, perilaku, dan faktor-faktor yang mempengaruhi bagaimana hukum positif dijalankan. Pelaksanaan hukum di peraturan pengelolaan sampah di daerah Babelan dan sekitarnya, bahkan Kabupaten Bekasi secara umum tidak sesuai dengan beberapa asas hukum di atas, yaitu peraturan daerah kabupaten bekasi ini menurut saya menuntut satu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan, seperti misalnya mengatur seorang “pemulung” yang mencari sampah di permukiman, apakah harus membuat surat lalu izin kepada Bupati? Atau ketika mereka mengais rezeki melalui mencari sisa-sisa barang yang masih layak pakai mereka lalu dikenakan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi nomor 4 tahun 1999 Pasal 18 dan membayar denda sebesar 5 juta rupiah, jangankan membayar denda, untuk makan saja mereka sulit.
Lalu, peraturan tersebut tidak diumumkan kepada publik, sehingga bagaimana masyarakat bisa dapat mengetahui ada tidaknya peraturan tersebut, terus terang saja, saya pun baru mengetahui jika Kabupaten Bekasi memiliki regulasi yang mengatur tentang pengelolaan sampah, yang saya tahu sebelumnya adalah bahwa Kabupaten Bekasi adalah “pusatnya sampah”. Sekali lagi, pemerintah Kabupaten Bekasi seolah sedang “hibernasi panjang” setelah mengalami kemenangan pemilukada. Karena memang tidak ada sosialisasi tentang larangan membuang sampah di sembarang tempat selain memang tidak ada fasilitas pembuangan sampah yang disediakan pemerintah Kabupaten Bekasi. Hasilnya adalah ketidakpastian hukum karena kepastian hukum yang telah “dinodai”.
Pendapat mengenai kepastian hukum dikemukakan pula oleh Jan M. Otto sebagaimana dikutip oleh Sidharta (2006 : 85), yaitu bahwa kepastian hukum dalam situasi tertentu mensyaratkan sebagai berikut :
1) Tersedia aturan-aturan hukum yang jelas atau jernih, konsisten dan mudah diperoleh (accesible), yang diterbitkan oleh kekuasaan negara;
2) Bahwa instansi-instansi penguasa (pemerintahan) menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten dan juga tunduk dan taat kepadanya;
3) Bahwa mayoritas warga pada prinsipnya menyetujui muatan isi dan karena itu menyesuaikan perilaku mereka terhadap aturan-aturan tersebut;
4) Bahwa hakim-hakim (peradilan) yang mandiri dan tidak berpihak menerapkan aturan-aturan hukum tersebut secara konsisten sewaktu mereka menyelesaikan sengketa hukum; dan
5) Bahwa keputusan peradilan secara konkrit dilaksanakan.
Kelima syarat yang dikemukakan Jan M. Otto tersebut menunjukkan bahwa kepastian hukum dapat dicapai jika substansi hukumnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Aturan hukum yang mampu menciptakan kepastian hukum adalah hukum yang lahir dari dan mencerminkan budaya masyarakat. Kepastian hukum yang seperti inilah yang disebut dengan kepastian hukum yang sebenarnya (realistic legal certainly), yaitu mensyaratkan adanya keharmonisan antara negara dengan rakyat dalam berorientasi dan memahami sistem hukum. Namun, pada kenyataannya masyarakat Kabupaten Bekasi pada umumnya dan Babelan khususnya belum memahami sistem hukum, dan tidak adanya sosialisasi terhadap peraturan yang ada semakin memperparah ketidaktahuan pelaksanaan hukum, apalagi tidak adanya fasilitas untuk mengelola sampah.
Kesimpulan
Pengelolaan sampah merupakan masalah yang sangat penting untuk diselesaikan sesegera mungkin. Pemerintah menyediakan Undang-Undang dan Peraturan Daerah Kabupaten yang mengatur segala hal berkaitan dengan pengelolaan sampah, sudah sebegitu apik pemerintah merumuskan peraturan-peraturan yang bertujuan mengatur masyarakat agar mematuhinya dan dapat terlaksana pengelolaan sampah dengan baik. Namun, masih banyak masyarakat melanggar peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah, bahkan pemerintah Kabupaten Bekasi, dalam kasus ini juga tidak memenuhi beberapa kewenangan dan kewajibannya dalam “menyadarkan” dan memfasilitasi masyarakatnya dalam pengelolaan dan pembuangan sampah.
Sehingga, peraturan sebagai hukum yang mengatur keadaan tersebut kehilangan asasnya sebagai hukum, hal tersebut menyebabkan adanya ketidakpastian hukum. Selain itu, keadaan masyarakat yang tidak tertib juga diakibatkan oleh tidak adanya fasilitas yang dibuat pemerintah untuk mengelola sampah, sehingga masyarakat seenaknya membuang sampah di sembarang tempat dan mengabaikan peraturan pemerintah kabupaten yang cukup memberatkan.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Ilmu Hukum yang diampu oleh Ibu Nurul Khusniyati.
*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*
0 comments:
Posting Komentar