Selasa, 05 Januari 2016

Tokoh Pemikiran Politik Islam : Ibnu Taimiyyah



Pendahuluan 

Ibnu Taimiyyah sangat banyak menulis buku mengenai hampir setiap aspek dari Islam. Kebanyakan tulisan – tulisan Ibnu Taimiyyah adalah sebagai reaksinya terhadap kesalahan – kesalahan atau kejahatan – kejahatan yang melanda kaum muslimin pada masa itu. Salah satu aspek dari Islam yang dibahas oleh Ibnu Taimiyyah adalah politik dan negara. Ide – ide politik yang penting dari Ibnu Taimiyyah mengenai negara terdapat di dalam bukunya yang berjudul al-Siyasah al-Syar’iyah (Sistem Politik Syari’ah, Pemerintah Syari’ah). Dalam buku ini, Ibnu Taimiyyah berbicara mengenai wilayah, yang dimaksudkannya bukanlah kekuasaan para Imam atau Khalifah, tetapi fungsi – fungsi dari organisasi negara. Demikian pula Ibnu Taimiyyah sering mengatakan bahwa kedaulatan harus terletak di tangan para ulama, dan umara. Yang dimaksud dengan ulama bukan hanya ahli – ahli agama saja, melainkan disertakan pula orang – orang lain dengan keahlian yang berguna untuk memelihara dan mendorong pertumbuhan negara.

Karya penting selanjutnya dari Ibnu Taimiyyah adalah ­al-Hisbah fi’l-Islam (Pengamatan terhadap Kesusilaan Masyarakat di dalam Islam). Yang dibahas di dalam buku ini adalah cara penggunaan prinsip “Menyerukan kebajikan dan mencegah kejahatan”, terutama segala hal yang berhubungan dengan administrasi negara. Di dalam buku ini, kita dapat menjumpai pernyataan – pernyataan mengenai hakekat dan fungsi negara. Kitab al-Ikhtiyarat al-Ilmiyah (Kitab mengenai peraturan – peraturan yuridis yang berdiri sendiri) juga mengandung diskusi – diskusi yang penting mengenai teori politik, terutama sekali di bidang pengadilan.


Biografi Ibnu Taimiyyah

Ibnu Taimiyyah memiliki nama lengkap Abu Abbas Ahmad bin Abd al-Halim bin Abd al-Salam Abdullah bin Mohammad bin Taimiyyah. Beliau dilahirkan pada tahun 661 H (1263 M) di Harran, Syria, 5 Tahun setelah jatuhnya Baghdad ke tangan bangsa Tatar, yang berarti pula berakhirnya dinasti Abbassiyah. Pada usia 6 tahun, dia mengikuti Ayahnya pindah ke kota Damaskus demi menghindar dari kekejaman Tatar. Ayahnya Abu Al-Mahasin Abd al-Halima adalah seorang ulama terkemuka dari Madzhab Hambali. Bahkan kakeknya Syeikh Al-Islam Abu Al-Barakat Abd Al-Salam bin Abdullah juga salah seorang ahli fiqih Hambali dan juga ahli Hadits dan Tafsir. Ibnu Taimiyyah belajar di Damaskus dengan Syihabuddin, yang merupakan seorang guru Hadits dan pengkhutbah yang terkenal di Masjid Besar Damaskus, dan dengan Pamannya, Fakhruddin, yang merupakan seorang cendekiawan dan penulis yang termasyhur. Oleh karena itulah Ibnu Taimiyyah memperoleh pendidikan di sekolah ayahnya sendiri dan di lingkungan keluarganya sendiri yang secara turun – temurun merupakan tokoh – tokoh cendekiawan. Kemudian Ibnu Taimiyyah berguru kepada Ali Zain Al-Din Al-Muqaddasi, Najm Al-Din bin Asakir, dll. Pada usia 20 Tahun, ketika Ayahnya tutup usia, Ibnu Taimiyyah mulai memperlihatkan perhatian besar untuk mempelajari Fiqh Hambali, disamping mendalami ilmu – ilmu Al-Quran, Hadits, dan Teologi.

Sebagai ilmuwan, Ibnu Taimiyyah mendapatkan reputasi sebagai seorang yang berwawasan luas, pendukung kebebasan berpikir, tajam perasaan, teguh pendirian dan pemberani, serta menguasai banyak cabang ilmu pengetahuan dan agama. Ibnu Taimiyyah hidup pada masa dunia Islam mengalami puncak disintegrasi politik, dislokasi sosial dan dekadensi akhlak serta moral. Seperti diketahui, sudah lama kekuasaan pemerintahan tidak lagi berada di tangan khalifah yang berada di Baghdad, melainkan pada penguasa-penguasa wilayah atau daerah, baik yang bergelar sultan, raja, atau amir. Tetapi wilayah kekuasaan mereka kemudian dipersempit atau bahkan ada yang direbut oleh penguasa-penguasa Tatar dari timur atau bahkan ada yang direbut oleh Krusades dari barat. Jatuhnya Baghdad ke tangan Tatar, yang berarti pula berakhirnya dinasti Abbasiyyah merupakan klimaks proses disintegrasi itu.


Politik yang Bersendikan Agama dalam Membina Kehidupan Bernegara

Karya tulis Ibnu Taimiyyah dalam bidang politik yang paling penting adalah buku yang berjudul Al- Siyasah al-Syar’iyah fi islah al- Ra’I wa al- Raiyyah (politik yang berdasarkan syariah bagi perbaikan penggembala dan gembala). Dari judulnya saja sudah tampak jelas maksud Ibnu Taimiyyah, yakni berusaha memperbaiki situasi masyarakatnya dan mengikis habis segala kebobrokan, baik moral, maupun sosial sebagai akibat dari berbagai malapetaka yang menimpa umat islam karena perang dengan Krusades yang tak kunjung henti dan serbuan Bangsa Tatar. Ibnu Taimiyyah beranggapan bahwa kebobrokan umat disebabkan para pemimpin dan kurang tepatnya para pemimpin itu memilih wakil- wakil dan pembantunya, baik di pemerintah pusat, maupun di daerah. Oleh karenanya, ia menyajikan suatu contoh atau model pemerintahan menurut islam berdasarkan keyakinan, bahwa umat hanya mungkin diatur dengan baik oleh pemerintah yang baik.[1]

Orientasi pemikiran politik Ibnu Taimiyyah yang bersendikan agama itu selain tampak jelas dari judul bukunya, juga bisa dilihat pada isi Pendahuluan atau Mukaddimah buku itu, dengan berdasarkan teori politiknya atas Firman Allah dalam Al-Quran, Surat AnNisa: 58-59, yang berbunyi: “sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat (titipan) kepada (mereka) yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkannya dengan adil. Sesungguhnya Allah memberikan pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Taatilah Rasul-Nya, dan pemimpin kalian. Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar percaya kepada Allah dan Rasul, jika kalian benar-benar percaya kepada Allah dan Hari Kemudian. Sikap demikian itu lebih utama (bagi kalian) dan akan lebih baik kesudahannya.” [2]

Menurut Ibnu Taimiyyah, ayat yang pertama yakni surat AnNisa: 58 dimaksudkan bagi para pemimpin negara. Demi terciptanya kehidupan bernegara yang serasi, hendaknya mereka menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak atasnya, dan bertindak adil dalam mengambil keputusan atas sengketa antara sesama anggota masyarakat. Sedangkan ayat kedua, Surat AnNisa: 59 ditujukan kepada rakyat. Mereka diperintahkan supaya taat, tidak saja kepada Allah dan Rasul, tetapi juga kepada pemimpin mereka, dan melakukan segala perintahnya selama tidak diperintahkan berbuat maksiat atau perbuatan yang dilarang oleh agama. Kemudian, kalau terjadi perbedaan pendapat antara mereka, maka dalam mencari penyelesaian hendaknya kembali kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunah). Ibnu Taimiyyah mengakhiri pendahuluan dari bukunya dengan mengatakan bahwa dengan diwajibkannya para pemimpin negara untuk menyampaikan amanat kepada pihak yang berhak, dan untuk berlaku adil dalam memutuskan sengketa seperti tersebut diatas, maka akan terjadi perpaduan antara kebijaksanaan politik yang adil dan pemerintahan yang baik.[3]


Pelaksanaan Politik yang Bersendikan Agama

Buku Al-Siyasah Al-Syariyyah terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama menguraikan tentang penyampaian amanat kepada yang berhak, khususnya tentang pelaksanaan hukum-hukum pidana hak Tuhan dan hak sesama manusia; kemudian ditutup dengan dua pasal masing-masing tentang musyawarah dan tentang pentingnya adanya pemerintahan.


Penyampaian Amanat Kepada yang Berhak

Ibnu Taimiyyah menyimpulkan asbabunnuzul Surah AnNisa: 58 bahwa kepala negara diimbau untuk memercayakan tiap urusan yang berkaitan dengan kepentingan rakyat kepada orang-orang yang paling baik dari segi kepentingan rakyat. Menurut Ibnu Taimiyyah, dalam penunjukkan atau pengangkatan pembantu-pembantu, baik mereka yang bertugas pada pemerintah pusat seperti wazir, para panitera yang mengepalai berbagai bidang, para pejabat tinggi lainnya, hakim, panglima angkatan dan komandan kesatuan, maupun pejabat daerah. Seorang kepala negara harus berusaha mencari orang-orang yang secara objektif betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan untuk jabatan-jabatan teresbut, dan jangan sampai seorang kepala negara terpengaruh oleh faktor-faktor subjektif seperti hubungan keluarga dan sebagainya.

Lebih lanjut ia menyatakan bahwa tidak dibenarkan seorang kepala negara menyimpang dari ketentuan di atas, dan mengangkat seseorang untuk satu jabatan sedangkan terdapat orang lain yang lebih memenuhi syarat kecakapan, hanya karena kepala negara dan orang yang diangkat itu masih ada hubungan keluarga, atau karena ada kesamaan di bidang lain.

Pelaksanaan Hukum

Pelaksanaan hukum oleh Ibnu Taimiyyah itu terutama pelaksanaan hukum pidana, yang terdiri dari dua macam. Hukum pidana yang berupa hak Allah dan hukum pidana yang merupakan hak manusia. Hukum yang merupakan hak Allah adalah hukuman bagi penyamun, pencuri, pezina, dan sebagainya. Penguasa harus menegakkan dan melaksanakan hukuman hak Allah meskipun tidak ada pengaduan dari siapapun, oleh karena itu, hukuman tersebut telah jelas digariskan dalam Al-Quran. Juga hukuman itu harus dilaksanakan tanpa pandang bulu. Ibnu Taimiyyah tidak membenarkan adanya uang tebusan agar meringankan hukuman pelaku pidana atas hak Allah.

Sedangkan hukum pidana yang merupakan hak manusia, seperti pembunuhan dan penganiayaan, meskipun agama telah menentukan cara penyelesaiannya, kalau pihak yang dirugikan menuntut, tetapi Islam mengimbau kepada keluarga korban supaya bersedia memaafkan. Dalam Al-Quran surat Al-Maidah: 45, Allah berfirman, “Dan kami telah menetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) adan kisasnya. Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” Dalam hal ini menurut Anas bin Malik, jika ada orang yang mengajukan perkara yang menyangkut kisas kepada Nabi, beliau selalu menganjurkan kepada korban atau keluarganya untuk memaafkan kesalahan pelaku.

Musyawarah dan Pemerintahan

Ibnu Taimiyyah mengatakan perlunya musyawarah dalam sebuah pemerintahan. Dalam surat Al-Imran: 159, seorang kepala negara tidak diperbolehkan meninggalkan musyawarah. Juga Nabi sendiri terkenal amat gemar bermusyawarah. Kemudian Ibnu Taimiyyah berbicara tentang perlunya ada pemerintahan, dan mengatakan bahwa mendirikan suatu pemerintahan untuk mengelola urusan umat merupakan kewajiban agama yang paling agung, karena agama tidak mungkin tegak tanpa pemerintahan. Umat manusia tidak akan mampu mencukupi semua kebutuhannya tanpa kerjasama dan saling membantudalam kehidupan berkelompok, dan tiap kehidupan kelompok atau bersarikat membutuhkan seorang kepala atau pemimpin. 

Ibnu Taimiyyah berpendapat, apabila ternyata negara merupakan sesuatu hal yang diperlukan, maka yang sebaik- baiknya bagi kita adalah menerima otoritas Allah dan Rasul-Nya; karena Allah menyerukan kebajikan serta melarang kejahatan, dan menghalalkan hal - hal yang suci serta melarang hal- hal yang kotor. Menerima Otoritas Allah ini menurut Ibnu Taimiyyah merupakan kewajiban seluruh umat manusia, dan fungsi- fungsi in tidak dapat diwujudkan tanpa kekuasaan dan otoritas.[4]

Dalam hal ini, Ibnu Taimiyyah memiliki persamaan dengan Al-Ghazali. Sebagaimana Ghazali, Ibnu Taimiyyah juga berpendapat bahwa keberadaan kepala negara itu diperlukan tidak hanya sekadar menjamin keselamatan jiwa dan hak milik rakyat, serta terpenuhinya kebutuhan materi mereka saja, tetapi lebih dari itu juga untuk menjamin berlakunya segala perintah dan hukum Allah.[5] Ibnu Taimiyyah secara tegas menyatakan bahwa negara diperlukan agar tujuan - tujuan positif dapat tercapai. Bahkan ia sangat yakin otoritas negara adalah suatu keharusan sehingga ia mengagumi peribahasa yang mengatakan: “sesungguhnya seorang raja adalah bayangan Allah di atas bumi” dan: “enam puluh tahun dibawah kekuasaan seorang imam yang zalim adalah lebih baik daripada satu malam tanpa seorang imam.”

Ibnu Taimiyyah pun sangat khawatir apabila kaum muslimin mengalami anarki dan disintegrasi. Oleh karena itulah dia menyatakan bahwa seburuk- buruknya tirani adalah lebih baik daripada masyarakat yang tidak tertib dan kacau.[6] Pendapat Ibnu Taimiyyah yang ‘ekstrem’ itu bisa saja merupakan refleksi dari kehawatirannya terhadap stabilitas negara tempat dimana ia berada kala itu. Satu hal lagi, Ibnu Taimiyyah mendambakan ditegakkannya keadilan sedemikian kuat, sehingga dia cenderung beranggapan bahwa kepala negara yang adil meskipun kafir adalah lebih baik daripada kepala negara yang tidak adil meskipun Islam. Dengan ungkapan bahwa Allah mendukung negara yang adil meskipun kafir, dan bahwa Allah tidak mendukung negara yang tidak adil sekalipun Islam.[7]

KESIMPULAN

Ibnu Taimiyyah mendasarkan pemikiran politiknya pada Surat An-Nisa ayat 58 – 59, yaitu agar para pemimpin menyampaikan amanah – amanah kepada pemiliknya, yakni yang berhak menerimanya, baik amanah Allah maupun amanah manusia, dan harus menetapkan hukum seadil-adilnya, seperti yang telah diajarkan Allah SWT, yaitu tidak memihak kecuali kepada kebenaran dan tidak pula menjatuhkan sanksi kecuali kepada yang melanggar, tidak menganiaya walau itu lawan dan tidak pula memihak kepada teman walau ia salah. Dan juga agar para rakyat yang dipimpin menaati putusan hukum dari siapapun yang berwenang menetapkan hukum, selama hukum yang berlaku tidak bertentangan dengan perintah Allah ataupun perintah Rasul-Nya.

Ibnu Taimiyyah juga menyampaikan pemikirannya pada bukunya yang berjudul Al-Siyasah Al-Syariyyah yang terdiri dari dua bagian utama. Bagian pertama menguraikan tentang penyampaian amanat kepada yang berhak, khususnya tentang pelaksanaan hukum - hukum pidana hak Tuhan dan hak sesama manusia, yaitu mereka yang bertugas pada pemerintah pusat seperti wazir, para panitera yang mengepalai berbagai bidang, para pejabat tinggi lainnya, hakim, panglima angkatan dan komandan kesatuan, maupun pejabat daerah. Seorang kepala negara harus berusaha mencari orang-orang yang secara objektif betul-betul memiliki kecakapan dan kemampuan untuk jabatan-jabatan teresbut, dan jangan sampai seorang kepala negara terpengaruh oleh faktor-faktor subjektif seperti hubungan keluarga dan sebagainya. Kemudian ditutup dengan dua pasal masing - masing tentang musyawarah dan tentang pentingnya adanya pemerintahan.


*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*

0 comments:

Posting Komentar