Rabu, 04 Januari 2017

Globalisasi dan Lingkungan Hidup


          Pemanasan global (global warming) adalah masalah global yang membutuhkan perhatian dan kerja sama secara global. Menurut Stiglitz (2006), tidak ada isu yang lebih global daripada pemanasan global. Karena itu, masyarakat internasional perlu bertindak secara kolektif dalam usaha minimalisasi berbagai dampak pemanasan global. Caranya adalah dengan penguatan institusional melalui global governance. Terkait dengan perubahan lingkungan global, sudah ada institusi yang concern terkait hal itu, namun, O’neil dalam bukunya The Environment and International Relations memaparkan keterkaitan Institusi Bretton Woods dengan perubahan lingkungan yang terjadi di tatanan global. O’neil menjelaskan bagaimana perdagangan, bantuan luar negeri, dan arus finansial global dalam dekade setelah perang dunia kedua berpengaruh terhadap perubahan lingkungan global. Institusi Finansial Internasional merupakan badan-badan yang dianggap sebagai global governance dimana negara-negara powerful dan corporate actors membuat norma dan struktur dalam kapitalis global. Keterkaitan antara politik dan ekonomi global dengan lingkungan global pada akhirnya membuat satu pandangan baru yang menyatukan hubungan internasional dengan lingkungan.
            The Washington Consensus merupakan titik dimana Neoliberalisasi menjadi satu paham yang mengedepankan percepatan dalam bidang privatisasi di berbagai bidang, liberalisasi pasar, ekonomi terbuka, alokasi dalam hak cipta, reformasi pajak, pedisiplinan bidang fiscal, dan mengeliminasi segala bentuk subsidi dari pemerintah. Dalam melaksanakan tugasnya, GATT/WTO, IMF, dan Bank Dunia langsung atau tidak langsung berdampak pada perubahan lingkungan.
            Aktivitas perdagangan dan bisnis MNC memiliki dampak terhadap kondisi lingkungan global. Hal ini terdapat dalam perdebatan terhadap GATT/WTO. GATT/WTO memiliki prinsip-prinsip, yaitu liberalisasi perdagangan, nondiskriminasi, asas reciprocity, dan transparansi. Dalam Artikel XX GATT berisikan General Exceptions yang tertulis “to protect, human, animals, plants, and health" serta “melakukan pembatasan produksi domestik atau konsumsi apabila terjadi eksploitasi". Seiring berjalannya waktu, arus perdagangan dan pengaruhnya mengalami perdebatan. Liberalisasi pasar diharapkan membawa dampak positif yaitu apabila semakin tinggi GDP suatu negara, maka negara tersebut semakin memiliki kesempatan untuk memperhatikan lingkungan dengan ‘meremajakan’ mesin sehingga ramah lingkungan. Namun, sisi negatifnya adalah meningkatnya mobilitas dan aktivitas pasar dapat meningkatkan kerusakan lingkungan. Kemudian, dalam hal liberalisasi pasar dan peraturan lingkungan akan berdampak langsung karena WTO/GATT memiliki kekuatan secara langsung dalam mempengaruhi peraturan di tatanan nasional yang itu juga bisa menjadi dampak peraturan yang tidak langsung dalam negara itu sendiri terkait dengan pengelolaan lingkungan.
            Dampak ketimpangan ekonomi dan konsumsi terhadap kondisi lingkungan global sebenarnya masih diperdebatkan. Hal ini dikarenakan salah satunya karena adanya Trade-Related Intellectual Property Right (TRIPS) misalnya hak paten Bioteknologi dll, Sanitary and Phytosanitary Standards (SPS), serta Trade in Sercives. Apabila perusahaan pestisida dan pupuk memiliki wewenang untuk membuat pestisida yang hanya sesuai dengan pupuk produksinya saja, hal ini tentu saja bisa memonopoli pasar pupuk dan pestisida. Sehingga pertanyaannya peraturan ini menguntungkan siapa?
            IMF dan Bank Dunia memiliki perjalanannya sendiri ketika berhadapan dengan permasalahan lingkungan. IMF dan Bank Dunia memiliki kewenangan yang hampir sama yaitu memberikan bantuan terhadap negara dalam bentuk yang berbeda. IMF memberikan bantuan yang berupa bantuan finansial untuk memperbaiki kondisi finansial suatu negara dengan menyelipkan kebijakan-kebijakan. Sedangkan, Bank Dunia memberikan bantuan berupa biaya pembangunan infrastruktur. IMF masih dianggap tidak memiliki singgungan langsung dengan kerusakan lingkungan, karena yang dilakukan hanya memasukkan kebijakan-kebijakan terkait syarat pinjaman yang dilakukan negara peminjam. Apabila memang ada dampak lingkungan yang dihasilkan, hal demikian hanya merupakan efek samping saja. Lain halnya dengan Bank Dunia yang memberikan bantuan berupa pinjaman pembangunan infrastruktur, sehingga terlihat jelas bahwa uang pinjaman Bank Dunia pada akhirnya akan ‘merusak’ lingkungan untuk pembebasan lahan dan lain-lain. Dengan adanya kerusakan lingkungan yang ‘nampak’ setelah beberapa program bantuan Bank Dunia, misalnya Dam Project di Mesir yang merusak lingkungan, membuat Bank Dunia berpikiran untuk membuat komisi dan badan untuk mengawasi persiapan dan selama pembangunan project yang menggunakan pinjaman Bank Dunia.
Michael Goldman mengatakan bahwa Bank Dunia melakukan ‘penghijauan’ yang berujung pada pengimplementasian ideologi baru yang disebut dengan “green neoliberalization”. Green Neoliberalization merupakan salah satu bentuk respon terhadap kritik yang diberikan sebelumnya pada Bank Dunia bahwa Bank Dunia tidak peduli terhadap lingkungan adalah salah. Dari sini, setiap negara yang mau membuat project dan meminjam dana dari Bank Dunia Harus melewati prosedur pengecekan apakah ramah lingkungan atau tidak. Kemudian, Bank Dunia memmercayakan sumber finansial yang luas dan jaringan expert internasional yang pada akhirnya akan membentuk pembangunan yang berkelanjutan. Contoh dari pelaksanaan green neoliberalization misalnya, pemasaran Sumber Daya Alam (Marketization of Natural Resources) harus dilakukan oleh pegawai experts yang mengontrol generasi, grediilitas, serta penggunaan pengetahuan terkait dengan kebijakan dan dampak lingkungan. Contoh di Indonesia misalnya jual beli kayu hutan harus melalui Prosedur yang panjang melewati beberapa tahap legalisasi yang disebut dengan Sistem Verivikasi Legalitas Kayu (SVLK).

            


*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*

0 comments:

Posting Komentar