Pemanasan
global (global warming) adalah masalah global yang membutuhkan perhatian dan
kerja sama secara global. Menurut Stiglitz (2006), tidak ada isu yang lebih
global daripada pemanasan global. Karena itu, masyarakat internasional perlu
bertindak secara kolektif dalam usaha minimalisasi berbagai dampak pemanasan
global. Caranya adalah dengan penguatan institusional melalui global governance. Terkait dengan
perubahan lingkungan global, sudah ada institusi yang concern terkait hal itu, namun, O’neil dalam bukunya The
Environment and International Relations memaparkan keterkaitan Institusi
Bretton Woods dengan perubahan lingkungan yang terjadi di tatanan global. O’neil
menjelaskan bagaimana perdagangan, bantuan luar negeri, dan arus finansial
global dalam dekade setelah perang dunia kedua berpengaruh terhadap perubahan
lingkungan global. Institusi Finansial Internasional merupakan badan-badan yang
dianggap sebagai global governance dimana
negara-negara powerful dan corporate actors membuat norma dan
struktur dalam kapitalis global. Keterkaitan antara politik dan ekonomi global
dengan lingkungan global pada akhirnya membuat satu pandangan baru yang
menyatukan hubungan internasional dengan lingkungan.
The
Washington Consensus merupakan titik dimana Neoliberalisasi menjadi satu paham
yang mengedepankan percepatan dalam bidang privatisasi di berbagai bidang,
liberalisasi pasar, ekonomi terbuka, alokasi dalam hak cipta, reformasi pajak,
pedisiplinan bidang fiscal, dan mengeliminasi segala bentuk subsidi dari
pemerintah. Dalam melaksanakan tugasnya, GATT/WTO, IMF, dan Bank Dunia langsung
atau tidak langsung berdampak pada perubahan lingkungan.
Aktivitas
perdagangan dan bisnis MNC memiliki dampak terhadap kondisi lingkungan global.
Hal ini terdapat dalam perdebatan terhadap GATT/WTO. GATT/WTO memiliki
prinsip-prinsip, yaitu liberalisasi perdagangan, nondiskriminasi, asas reciprocity, dan transparansi. Dalam
Artikel XX GATT berisikan General
Exceptions yang tertulis “to protect, human, animals, plants, and health" serta “melakukan pembatasan produksi domestik atau konsumsi apabila
terjadi eksploitasi". Seiring berjalannya waktu, arus perdagangan dan
pengaruhnya mengalami perdebatan. Liberalisasi pasar diharapkan membawa dampak
positif yaitu apabila semakin tinggi GDP suatu negara, maka negara tersebut
semakin memiliki kesempatan untuk memperhatikan lingkungan dengan ‘meremajakan’
mesin sehingga ramah lingkungan. Namun, sisi negatifnya adalah meningkatnya
mobilitas dan aktivitas pasar dapat meningkatkan kerusakan lingkungan. Kemudian,
dalam hal liberalisasi pasar dan peraturan lingkungan akan berdampak langsung
karena WTO/GATT memiliki kekuatan secara langsung dalam mempengaruhi peraturan
di tatanan nasional yang itu juga bisa menjadi dampak peraturan yang tidak langsung
dalam negara itu sendiri terkait dengan pengelolaan lingkungan.
Dampak
ketimpangan ekonomi dan konsumsi terhadap kondisi lingkungan global sebenarnya
masih diperdebatkan. Hal ini dikarenakan salah satunya karena adanya
Trade-Related Intellectual Property Right (TRIPS) misalnya hak paten
Bioteknologi dll, Sanitary and Phytosanitary Standards (SPS), serta Trade in
Sercives. Apabila perusahaan pestisida dan pupuk memiliki wewenang untuk
membuat pestisida yang hanya sesuai dengan pupuk produksinya saja, hal ini
tentu saja bisa memonopoli pasar pupuk dan pestisida. Sehingga pertanyaannya peraturan
ini menguntungkan siapa?
IMF
dan Bank Dunia memiliki perjalanannya sendiri ketika berhadapan dengan
permasalahan lingkungan. IMF dan Bank Dunia memiliki kewenangan yang hampir
sama yaitu memberikan bantuan terhadap negara dalam bentuk yang berbeda. IMF
memberikan bantuan yang berupa bantuan finansial untuk memperbaiki kondisi
finansial suatu negara dengan menyelipkan kebijakan-kebijakan. Sedangkan, Bank
Dunia memberikan bantuan berupa biaya pembangunan infrastruktur. IMF masih
dianggap tidak memiliki singgungan langsung dengan kerusakan lingkungan, karena
yang dilakukan hanya memasukkan kebijakan-kebijakan terkait syarat pinjaman yang
dilakukan negara peminjam. Apabila memang ada dampak lingkungan yang
dihasilkan, hal demikian hanya merupakan efek samping saja. Lain halnya dengan
Bank Dunia yang memberikan bantuan berupa pinjaman pembangunan infrastruktur,
sehingga terlihat jelas bahwa uang pinjaman Bank Dunia pada akhirnya akan
‘merusak’ lingkungan untuk pembebasan lahan dan lain-lain. Dengan adanya
kerusakan lingkungan yang ‘nampak’ setelah beberapa program bantuan Bank Dunia,
misalnya Dam Project di Mesir yang merusak lingkungan, membuat Bank Dunia
berpikiran untuk membuat komisi dan badan untuk mengawasi persiapan dan selama
pembangunan project yang menggunakan pinjaman Bank Dunia.
Michael Goldman mengatakan
bahwa Bank Dunia melakukan ‘penghijauan’ yang berujung pada pengimplementasian
ideologi baru yang disebut dengan “green neoliberalization”. Green Neoliberalization
merupakan salah satu bentuk respon terhadap kritik yang diberikan sebelumnya
pada Bank Dunia bahwa Bank Dunia tidak peduli terhadap lingkungan adalah salah.
Dari sini, setiap negara yang mau membuat project dan meminjam dana dari Bank
Dunia Harus melewati prosedur pengecekan apakah ramah lingkungan atau tidak. Kemudian,
Bank Dunia memmercayakan sumber finansial yang luas dan jaringan expert
internasional yang pada akhirnya akan membentuk pembangunan yang berkelanjutan.
Contoh dari pelaksanaan green neoliberalization misalnya, pemasaran Sumber Daya
Alam (Marketization of Natural Resources)
harus dilakukan oleh pegawai experts yang
mengontrol generasi, grediilitas, serta penggunaan pengetahuan terkait dengan
kebijakan dan dampak lingkungan. Contoh di Indonesia misalnya jual beli kayu
hutan harus melalui Prosedur yang panjang melewati beberapa tahap legalisasi
yang disebut dengan Sistem Verivikasi Legalitas Kayu (SVLK).
*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*
0 comments:
Posting Komentar