Rabu, 04 Januari 2017

Demokrasi dan Pembangunan Ekonomi




            Adam Przeworski dalam artikel Democracy and Economic Development menjelaskan hubungan timbal balik antara tingkat kemajuan ekonomi suatu negara dengan rezim yang ada di negara tersebut. Dalam artikelnya, Przeworski menuliskan studi kasus dalam mengaitkan antara tingkat kemajuan ekonomi dengan rezim yang berkuasa. Menurutnya, tidak semua sistem demokratis mampu melahirkan tingkat pertumbuhan ekonomi tinggi, dan sebaliknya, rezim diktator tidak kemudian serta merta melahirkan pertumbuhan ekonomi yang rendah. Terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa negara-negara miskin pada umumnya tumbuh lebih lambat dibandingkan negara kaya. Karena negara-negara miskin kebanyakan berada di bawah kendala rezim diktator, sementara semua negara kaya adalah negara menganut sistem yang demokratis.
            Apabila kita hanya membandingkan tingkat pertumbuhan di bawah dua rezim, kita akan menyimpulkan bahwa demokrasi tumbuh lebih cepat. Tentu saja kesimpulan ini akan menjadi keliru. Akhirnya, harus ada upaya untuk mempertimbangkan kemungkinan bahwa ada beberapa faktor yang tidak dapat diamati secara sistematis yang mampu mempengaruhi tingkat pertumbuhan ekonomi negara. Misalnya, jika kita lihat China dan Singapura, kedua negara tersebut merupakan negara yang diktator, tapi pertumbuhan ekonominya bias dikatakan cukup pesat. Sehingga, dapat disimpulkan jika klaim sebagian ekonom liberal tentang peningkatan kesejahteraan dan kemajuan ekonomi yang mendorong terjadinya demokratisasi tidak memiliki dukungan empiris yang kuat.
            Przeworski juga menjelaskan tentang bagaimana suatu negara dapat mengalami transisi menuju demokrasi. Menurutnya, kemungkinan kemunculan demokrasi lebih kecil di negara miskin dan kemungkinan muncul di negara dengan pendapatan perkapita menengah ke atas. Transisi demokrasi tidak mungkin terjadi jika terdapat pada rezim diktator yang memiliki pendapatan perkapita tinggi. Tentu saja rezim diktator dengan pendapatan perkapita tinggi akan terus mempertahankan kediktatorannya, misalnya Arab Saudi dan Singapura. Selain itu, pertimbangan faktor-faktor lain seperti sejarah perpolitikan masa lalu, keragaman Bahasa. Agama, dan predictive power tidak secara empiris membuktikan bahwa faktor-faktor ini dapat mempengaruhi transisi demokrasi. Kemudian, kediktatoran akan runtuh apabila kesenjangan tinggi. Karena pada dasarnya kediktatoran berada di negara yang banyak pertanian, sehingga pendapatan perkapita hanya dikuasai oleh sedikit orang. Maka, transisi demokrasi akan lebih mudah terjadi di negara yang menekuni manufaktur karena banyak buruh yang terlibat dalam pelaksanaan transisi demokrasi.
            Jagdish Bhagwati (1966) meberikan jawaban bahwa bangsa yang miskin menghadapi sebuah pilihan sulit antara mendahulukan kepentingan pembangunan atau membangun proses demokratisasi yang cepat. Kebanyakan negara-negara miskin masih berkutat pada dilema itu. Akibatnya, pembangunan maupun demokratisasi masih jauh dari harapan. Sementara menurut Richard Lowenthal, setiap ada peningkatan kebebasan, maka akan ada perlambatan pembangunan. Setiap ada percepatan pembangunan, maka akan melibatkan berkurangnya kebebasan. "Pembangunan duluan, demokrasi belakangan". Sementara menurut Gavin Kitching (1983): Adalah tidak mungkin untuk membangun masyarakat demokrasi yang bermakna dalam masyarakat yang secara material miskin.
            Terlepas dari penjelasan tentang dinamika rezim di atas, perlu ditegaskan kembali bahwa rezim yang demokratis belum tentu secara otomatis mampu melahirkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mapan, begitu juga sebaliknya, rezim diktator tidak serta merta melahirkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah. Untuk menjelaskan apakah rezim politik (demokrasi atau diktator) mempunyai kaitan linear dengan pertumbuhan ekonomi, maka kita sangat layak untuk mengutip pemikiran Seymour Martin Lipset (1957). Menurut Lipset, prasyarat mutlak dari berkembangnya demokrasi modern adalah pembangunan ekonomi yang ditopang dengan legitimasi politik dan kesetaraan sosial. Hal ini berarti, mengaitkan sistem politik dengan aspek-aspek lainnya dalam suatu masyarakat menunjukkan bahwa demokrasi memiliki hubungan yang sangat erat dengan pembangunan ekonomi. Hal inilah yang membuat mengapa sampai saat ini negara semi-diktator seperti China dan Singapura sulit untuk melakukan demokratisasi.

           
*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*

0 comments:

Posting Komentar