Karl Marx merupakan pencetus teori Marxisme. Seluruh pemikiran Karl Marx berdasarkan anggapan bahwa pelaku utama dalam masyarakat adalah kelas-kelas sosial. Meskipun Marx sering berbicara tentang kelas sosial, ia tidak pernah mendefinisikan secara spesifik arti dari “kelas”. Lenin memberikan definisi bahwa kelas sosial adalah golongan sosial dalam sebuah tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi. Walau definisi yang disebutkan Lenin masih belum bisa menjelaskan apa itu “kelas sosial” yang dimaksud oleh Marx. Terlepas dari hal tersebut, Marx mengungkapkan bahwa munculnya kelas – kelas sosial merupakan gejala khas masyarakat pasca-feodal. [1]
Menurut analisis Marx, cara manusia memenuhi kebutuhannya menjadi pondasi masyarakat. Menurutnya, pada setiap tatanan sejarah, kelas yang menguasai cara-cara produksi dapat menguasai masyarakat. Maka, bisa dikatakan bahwa pelaku utama perubahan sosial bukanlah individu tertentu, melainkan kelas sosial. Oleh karena itu, dalam mempelajari segala perkembangan sosial, faktor kelas sosial dalam suatu struktur masyarakat merupakan hal yang bisa dikatakan penting dan tidak bisa diabaikan. Marx membagi kelas sosial menjadi tiga, yaitu; kelas buruh, adalah setiap individu yang hidup dari upah; kelas pemilik modal, ialah individu yang hidup dari laba; kelas tuan tanah, adalah individu hidup dari rente tanah. Meskipun pada akhirnya akan terdapat dua tipe kelas dalam menganalisis, kelas atas dan kelas bawah. Kelas atas yang berisikan tuan tanah yang dianggap sama dengan tuan pemilik modal, dan kelas bawah ialah kelas buruh.
Marx mengatakan adanya kelas sosial dalam suatu tatanan masyarakat, merupakan hasil dari sistem produksi kapitalis. Sistem produksi tersebut pada dasarnya merupakan ketergantungan antara kelas atas dan kelas bawah, bisa dikatakan bahwa kelas atas memiliki tanah dan modal untuk digarap sebagai tuan modal atau tuan tanah. Sedangkan kelas bawah tidak memiliki apa – apa selain tenaga, maka mereka terpaksa harus menjual tenaga kerja mereka kepada para pemilik modal. Meskipun tidak selalu ada hubungan timbal balik antarkeduanya, namun, kelas atas bisa hidup tanpa kelas bawah, sedangkan kelas bawah mau tidak mau harus bekerja pada kelas atas. Maka, bisa dikatakan bahwa para pemilik modal memiliki kekuatan untuk berkuasa atas para pekerja.
Masyarakat pada zamannya menurut Marx seolah terasing dalam dirinya sendiri. Keterasingan itu berdasarkan hak milik pribadi atas alat-alat produksi. Hak atas kepemilikan pribadi itulah yang membuat kaum kelas atas bisa hidup (tanpa harus bekerja) dengan memanfaatkan kaum kelas bawah. Fenomena tersebut hadir bukanlah sebagai suatu kebetulan, melainkan usaha dari manusia untuk mempertahankan sesuatu berdasarkan apa yang telah mereka miliki, yang pada akhirnya kaum kelas atas akan melakukan spesialisasi pekerjaan dan seolah hidup dengan penghisapan terhadap kelas bawah. Bagi Marx pembebasan manusia akan keterasingan tersebut bisa tercapai apabila hak milik pribadi dihapuskan. Keadaan tanpa hak milik pribadi itulah yang disebut sebagai sosialisme.
Marxisme memiliki pandangan yang sama dengan realisme tentang persaingan dan konflik abadi antarnegara. Tetapi, kaum realisme menerangkannya dengan menunjukkan sistem anarki dalam hubungan internasional. Sedangkan, kaum marxisme menolak pandangan itu, dengan alasan bahwa hal tersebut bersifat abstrak dan ahistoris. Sehingga, kaum marxisme menyatakan bahwa kekuatan sosial pasti merupakan kelas-kelas kapitalis penguasa, mereka akhirnya mengontrol dan menentukan apa yang dilakukan negara-negara ‘mereka’.[2] Selain itu, kaum realis berpendapat bahwa pandangan marxis tentang negara bersifat reduksionis, yaitu mereduksi negara menjadi alat sederhana yang berada di tangan kelas penguasa, dengan tanpa kehendaknya sendiri.[3]
Sesuai dengan apa yang dikatakan Magnis Suseno, ia menyebutkan bahwa pemikiran negara Marx mengandung ‘racun reduksionalisme’ dan ‘utopia yang menyesatkan’. Magnis mempertanyakan apakah dalam masyarakat tanpa kelas negara akan menghilang itu masuk akal? Tentu tidak masuk akal. Karena ketika kaum kelas bawah mencapai posisi kelas atas, bukan berarti keadaan dua kelas ini akan sama atau hilang, melainkan hanya berpindah posisi saja. Marx juga menurut Magnis naïf melihat adanya kepentingan kekuasaan politik murni dan memahami semua kepentingan manusia sebagai ekonomis saja. Maka, menurutnya Marx tidak memiliki paham negara sebagai kekuata sosial primer dan buta terhadap kedudukan maupun peranan negara.[4]
*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*
0 comments:
Posting Komentar