Kamis, 11 Juni 2015

Sejarah Perkembangan, Teori, Serta Pendekatan Ilmu Politik



Zoon Politicoon adalah kata diberikan Aristoteles untuk menggambarkan manusia. Zoon politicoon dapat diartikan menjadi mahluk monodualis yang jika diartikan lebih luas lagi adalah manusia adalah mahluk sosial, walaupun pada dasarnya mereka adalah mahluk individu. Akan tetapi secara naluriah, mereka saling membutuhkan satu dengan lainnya. Karena itulah dapat diambil kesimpulan bahwa manusia adalah mahluk sosial yang hidup berkelompok untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga mereka saling terkait satu dengan lainnya dan menciptakan siklus sikap saling membutuhkan.
Dalam memenuhi kebutuhannya, terkadang terjadi pergolakan satu sama lainnya. Hal ini menciptakan suatu bentuk perpecahan dalam hubungan bermasyarakat jika diselesaikan dengan menggunakan kekerasan. Perang yang berkelanjutan antara 2 kelompok atau lebih yang bersengketa, menciptakan keresahan antara satu dengan lainnya. Banyak faktor-faktor kehidupan dalam masyarakat yang sedang berkonflik yang tidak diperhatikan dan membuat mereka sengsara. Sebab ini menjadi alasan kemunculan orang-orang yang mencoba mencari jalan keluar dari konflik ini.

“Pergolakan sosial” adalah awal penyebab terjadinya konflik dan hal ini pula yang menjadi pusat perhatian dari para filsuf-filsuf zaman kuno dulu. Dari penekanan pemikiran mengenai tentang alam, para sarjana mulai mencoba mengalihkan perhatian pemikiran mereka kearah suatu bentuk tatanan masyarakat yang kompleks tanpa kekurangan apapun.

Keinginan para sarjana ini menjadi sangat penting dalam perkembangannya. Berkat awal dari pemikiran-pemikiran ini, akan terbentuk tatanan sosial yang bisa membuat satu kelompok masyarakat yang hidup kerukunan dan kesejahteraan. Agar terciptanya kerukunan dan kesejahteraan dalam masyarakat, para filsuf-filsuf tersebut mencari cara-cara hidup bermasyarakat yang bisa memastikan hal ini adalah nyata. Cara inilah yang bagian dari awal mula berkembanganya ilmu politik.

Sejarah Perkembangan Ilmu politik

Dari apa yang telah diuraikan didalam latar belakang pada bab sebelumnya. Ada satu kesimpulan yang sudah dapat ditarik. Politik sudah ada saat manusia pun sudah ada. Lalu semua itu diperjelasy dengan kemunculan pemikir-pemikir filsafat yang melontarkan seluruh gagasan disetiap pemikiran mereka kedalam suatu kebijakan yang ditujukan untuk mengatur setiap elemen masyarakat agar terbentuknya suatu tatanan masyarakat yang teratur.

Politik adalah suatu cara yang digunakan sekelompok orang yang berkumpul dalam satu kesatuan untuk mencapai satu tujuan yang sama. Sedangkan ilmu politik itu sendiri adalah ilmu yang mempelajari itu semua. Tujuan dari politik itu bisa dalam berbentuk berbagai macam. Tidak terbatas untuk memajukan kelompok yang ada dibawahnya saja. Namun ada juga yang berusaha untuk menghancurkan kelompok lain demi kepentingan kelompoknya. Untuk menjalankan kelompok yang sedang berpolitik, maka dibutuhkan cara. 

Cara inilah yang nantinya disebut dengan kebijakan yang dimana kebijakan ini akan disebarkan keseluruh anggota yang tergabung dalam kelompok politik tersebut. Penyebaran kebijakan inilah yang disebut komunikasi politik yang dimana komunikasi politik ini ditujukan untuk menempatkan setiap individu yang tergabung untuk menciptakan harmonisasi dalam kelompok sehingga dapat menimbukan efesiensi dan efektifitas dari kebijakan yang ada. Dari penjelasan diatas sudah dapat disimpulkan bahwa politik adalah hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan, kebijakan, komunikasi, dan alokasi atau distribusi. 

Pada zaman yunani kuno, pemikiran politik , sistem kenegaraan dan bentuk dari negara sudah mulai muncul pada abad 450SM[1]. Bahkan pada zaman ini pula sistem pemerintahan demokratis muncul pertama kali dan dipraktikan kedalam kehidupan pemerintahan yang nyata. Pada zaman ini pula permulaan adanya hak asasi manusia yang mencakup tentang kebebasan, hak individu, dan keadilan diakui dengan sebenar-benarnya. Sudah sangat jelas hal ini sangat mempertegas bahwa Yunani kuno merupakan embrio dan kunci dasar dari filsafat politik modern yang ada pada saat ini. 

Sebagai embrio dan kunci dasar dari filsafat politik modern yang ada, tentunya zaman Yunani kuno memiliki sosok-sosok brilian yang dapat menyampaikan gagasan pemikirannya kedalam suatu bentuk nyata. Berikut ini nama-nama yang cukup terkenal sebagai pemikir filsafat pada zaman ini[2] :

1) Thales (600SM-550SM), seorang sarjana yunani yang hidup pada era filsafat tentang alam. Salah satu pertanyaannya yang cukup sering diajukan adalah zat apa yang menjadi bahan penyusun alam dan dimanakah kesatuan yang dibaliknya terdapat keragaman dan perubahan itu dapat ditemukan 

2) Socrates (470SM-399SM), seorang guru yang hidup pada era pemikiran “manusia sebagai mahluk etik, sosial dan politik”. Dia meletakan dasar pemikiran universal karena ia mengajarkan bahwa terdapat prinsip-prinsip moralitas yang tidak berubah dan universal yang terdapat pada hukum dan tradisi yang beragam.

3) Plato, salah satu murid Socrates yang paling setia. Ia terkenal pada bidang politik dan kenegaraan.

Selain yunani, zaman imperialisme china juga dibentuk atas pemikiran politik kuno. Di China, pendidikan dianggap sebagai pengaruh penting untuk menyebarkan suatu moral. Maka dengan pendidikan yang bersifat konfusianisme dianggap sebagai metode untuk memIlih para pemimpin dan pejabat negara. Awalnya konfusianisme merupakan ajaran kemanusiaan, moral dan falsafah sosial, namun berubah menjadi teori kenegaraan. Konfusionisme, pertama-tama, memang ajaran moral dan falsafah sosial, baru kemudian merupakan teori kenegaraan.[3]

Di China dan sebagian wilayah Asia lainnya memiliki pemikiran politik yang berbeda dengan pemikiran politik di Yunani. Bedanya dengan Yunani, pemikiran politik dikawasan Asia tidak dapat berkembang secara dinamis. Mungkin salah satu faktornya adalah adanya pertentangan politik internal dan yang pasti adalah adanya kolonialisme (penjajahan barat) yang segera menularkan gagasan politik di Asia. [4]

Bukan hanya china dan yunani saja yang memiliki dasar pemikiran filsuf politik dan sosial. India dan Indonesia menjadi salah satu negara yang memberikan konstribusi terhadapa perkembangan pemikiran politik di zaman kuno. India mempertegas pemikiran mereka dengan menuliskannya dalam sebuah karya bernuansa sastra seperti Dharmasastra dan Arthasastra. Sedangkan Indonesia membukukan pemikiran sejarah, politik dan kenegaraan dalam sebuah kitab Negarakertagama. Namun perkembangan pemikiran filosuf politik dan sosial pada kawasan Asia tidaklah berkembang seperti seharusnya. Invasi besar-besaran yang dilakukan oleh bangsa eropa dan upaya penyebaran pengaruh yang biasa disebut dengan 3G “Gold, Glory, and Gospel”. Menyebabkan terputusnya perkembangan pemikirasan filosuf-filosuf dari kawasan Asia.

Walaupun sudah memiliki tiang dasar dalam perkembangan ilmu politik, namun secara harfiah dalam konsep utama sebagai disiplin ilmu. Perkembangan ilmu politik tidaklah nyata. Dalam perkembangannya, ilmu politik hanya dipandang sebagai ilmu abstrak dan pelengkap untuk ilmu-ilmu lainnya. Pendidikan zaman dahulu yang bersifat tradisional nan klasik tidak dapat mendukung secara penuh ilmu politik untuk berkembang. Bisa dikatakan ilmu politik pada zaman dahulu hanyalah ilmu umum yang tereplisit tak kasat mata.

Teori-teori Ilmu Politik

Ilmu Politik adalah ilmu abstrak yang lahir dari pemikiran manusia yang terkonsep dari fenomena-fenomena yang ada saat itu, nilai dan norma yang berlaku serta prasangka yang ada sehingga memunculkan persepsi-persepsi baru mengenai realitas yang ada. Sebagai bidang ilmu displin, Ilmu politik membutuhkan teori-teori praktis yang dapat menjelaskan bentuk yang dapat dijelaskan dan mempertegaskan keberadaan ilmu politik dalam ilmu pengetahuan. Karena, seringkali banyak orang yang mencoba untuk membandingkan keabsahan dari sebuah teori dalam bentuk praktik maupun fakta-fakta yang terungkap.

Dalam pembahasan terkait teori politik, timbul 4 konsep utama yang menjadi penekanan dalam penekanannya yaitu, tujuan dari kegiatan politik, cara-cara mencapai tujuan politik, kemungkinan-kemungkinan dan kebutuhan dalam situasi politik, dan kewajiban-kewajiban yang menjadi akibat dari tujuan politik. Cakupan dari teori politik sendiri terdiri dari, masyarakat, kelas sosial, negara, kekuasaan, kedaulatan, hak dan kewajiban, kemerdekaan, lembaga-lembaga negara, perubahan sosial, pembangunan politik, modernisasi, globalisasi, dsb. Thomas P. Jenkin dalam The Study of Political Theory[5] membedakan teori politik menjadi 2 macam, yaitu :

1. Teori yang menggunakan dasar moral serta akhlak yang menentukan norma-norma sehingga memiliki nilai dari fenomena-fenomena yang ada dalam perilaku politik. Golongan ini adalah filsafat politik, teori politik sistematis, ideologi politik dan sebagainya.

a. Filsafat politik

Pokok pikiran dari filsafat politik adalah pembahasan terkait persoalan yang menyangkut dengan alam semesta seperti metafisika dan epistemologi yang harus dipecahkan dulu sebelum persoalan-persoalan politik yang kita alami sehari-hari dapat ditanggulangi.

b. Teori politik sistematis

Penekanan dari teori ini ada pada lanjutan dari tahapan filsafat politik. Teori politik sistematis lebih menekankan pada keadaan dan nilai yang ada dan dapat diterima pada masa itu.

c. Ideologi politik.

Himpunan nilai-nilai, ide-ide atau norma-norma, kepercayaan , welstachuung yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang atas dasar mana ia menentukan sikapnya terhadapa kejadian dan problematika politik yang dihadapi dan yang menentukan perilaku politiknya. Lebih besifat doktrin, pesuasi atau paksaan.

2. Teori yang menggambarkan fenomena dan fakta-fakta yang terjadi di lapangan tanpa memperhitungkan norma-norma yang berlaku sehingga bebas dari nilai. Bersifat deskriptif dan komparatif dengan pembahasan fakta-fakta kehidupan politik sehingga dapat disistematis dan disimpulkan dalam generalisasi.


Pendekatan Ilmu Politik

Panjangnya sejarah perkembangan serta luasnya abstraksi konsep dari ilmu politik menyebabkan perbedaan cara berpikir yang dipisahkan dari beberapa tahapan jaman. Perbedaan cara berpikir dari beberapa penekanan ini dapat dinamakan sebagai suatu bentuk pendekatan cara berpikir terhadap ilmu politik itu sendiri. Perbedaan ini menyebabkan perbedaan pendapat yang membuat pendekatan ilmu politik dibagi menjadi 6 tahapan[6] :

A.        Tradisional (Pendekatan Intitusional)
Pendekat intitusional dari Kaum tradisional lebih menekankan pada aspek historis. Berdasarkan aspek historis sebagai dasar utama dalam pembahasannya membuat para kaum tradisional masih sangat terpengaruh pada filsafat politik dari data-data tertulis yang ada. Penilaian dari pendekatan ini adalah etikal dan kualitatif. Fokus dari pendekatan ini hanya terarah padan badan-badan institusi yang bersifat legal saja dan menghiraukan lembaga-lembaga masyarakat yang bersifat informal. Sedangkan sifat dari pemikiran ini dibagi menjadi 3 tahap perkembangan :
1.      Pendekatan bersifat Historis
Menekankan pada fenomena politik yang ada atau perkembangan lembaga politik yang bersifat khusus dan abstrak.
2.      Pendekatan bersifat Historis Analisis
Penekanan pendekatan ini ada pada fungsional dari organisasi politik dan proses-proses politik yang legal.
3.      Pendekatan bersifat historis analisis normatif/yuridis
Penekanan pendekatan ini ada pada kelebihan/kekurangan dan keuntungan dan kekurangan dari sistem dan lembaga politik yang ada. Perdebatan yang sering muncul dari pendekatan ini adalah mengenai sistem pemerintahan presidensial dan parlementer, sistem pemilihan distrik dan proposional dan negara federal dan kesatuan.

Walaupun sudah mengalami 3 tahapan perubahan, gaya berpikir dari pendekatan intitusional dari kaum tradisional belum mampu membedakan antara ilmu politik dan ilmu sejarah. Banyak sekali kritik-kritik bahwa pendekatan ini tidak ilmiah karena masih menggunakan penilaian kualitatif dan etikal. Beberapa kritik yang sempat dibukukan dan ditulis :

1.          James Bryce
a.           “Untuk melukiskan lembaga-lembaga serta rakyat amerika sebagaimana adanya, untuk godaan-godaan yang bersifat deduktif, serta semata-mata untuk menyajikan fakta-fakta dala suatu kasus. Maka yang kita butuhkan hanya “fakta, fakta, dan fakta.”7
b.          “Terdapat ketetapan dan keseragaman pada berbagai [7]kecenderungan dalam sifat manusia yang memungkinkan kita beranggapan bahwa tindakan seseorang pada suatu saat selalu dikarenakan oleh sebab-sebab yang sama yang telah pula menentukan tindakan-tindakan mereka pada kurun waktu tertentu.” [8]
c.     Kecenderungan-kecenderungan ini sebegitu jauh selalu sama dan bersifat permanen, sehingga kita dapat menarik suatu dalil-dalil ini dalam suatu ilmu pengetahuan yang tersusun rapi.”[9]
Meskipun bryce tidak memaksudkan tulisannya kepada ilmu politik sebagaimana cenderung diartikan para pengikutnya, serta mencoba menjelaskan bahwa ilmu politik tidak lagi merupakan cabang ilmu/cabang filsafat yang bersifat spekulatif. Bryce benar-benar mendukung upaya pencarian fakta yang tak terhingga jumlahnya.

2.          Woodrow Wilson
“Pada pertengahan abad ke 20, sejarah cenderung tidak lagi sebagai sumber utama hukum-hukum politik bahkan sumber pemahaman politik. Tetapi hanya sebagai salah satu sumber yang terkadang berguna untuk mendapatkan hipotesa serta sebagai sarana pengecekan terhadap kesimpulan-kesimpulan yang didapat dari penelitian-penelitian tentang keadaan eropa.”[10]


B.         Behavioralism (Pendekatan Perilaku)
Ilmu politik mulai berkembang lagi pada pertengahan abad 20. Berdasarkan besarnya sumbangan yang diberikan bagi pengumpulan, pengaturan dan penggolongan fakta-fakta mengenai lembaga-lembaga politik, ilmu politik secara tegas memasuki tahapan baru dimana letak pengumpulan dan penggolongan fakta-fakta tentang lembaga serta proses-proses politik. Tahap ini bisa dinamakan dengan pendekatan perilaku.
Penekanan tahapan ini ada pada penilaian pola dan perilaku masyarakat sehari-sehari secara kuantitatif yang sangat mengesampingkan nilai. Menurut para sarjana yang hidup pada era ini, analisis terhadap pembuatan kebijakan dan penelitian terhadap karakter dan tipe-tipe kepemimpinan serta pola-pola perubahan hubungan dalam suatu kelompok masyarakat lebih penting daripada pembahasan mengenai sejarah dan teori filsafat yang tidak sesuai dengan keadaan kekinian. Pemikiran ini pun pernah dimunculkan oleh Aristoteles yang membahas hal-hal terkait informasi konstitusi, penggambaran cara kerja dan tipe-tipe pemerintah.
Menurut Charles Hyneman pembahasan ilmu politik memiliki keterkaitan dengan, “Struktur organisasi, proses pembuatan keputusan dan tindakan, politik pengawasan, kebijakansanaan dan tindakan serta lingkup manusia dari suatu pemerintahan yang legal.”[11]
Pendapat Charles Hyneman ini dipertegas dengan muncul konsep The Political System. Kemunculan dari konsep ini ditandai dengan keberhasilan David Easton dalam mengkonstrusi alur dari kerangka kerja sebuah sistem politik yang dibuat secara konseptual yang dinamakan General System Theory. Inti dari konsep General SystemTheory adalah unit-unit dan batasan suatu sistem politik, input dan output, diferensiasi dalam sistem dan integrasi dalam sistem. Menurut David Easton dan Albert Somit konsep dari pendekatan perilaku berorientasi kepada[12] :
1.          Perilaku politik menampilkan keteraturan yang perlu dirumuskan sebagai generalisasi-generalisasi yang kemudian dibuktikan atau diverifikasi kebenarannya. Proses verifikasi ini dilakukan melalui pengumpulan dan analisis data yang dapat diukur atau dikuantifikasikan antara lain melalui statistik dan matematika.
2.          Harus ada usaha membedakan secara jelas antara norma (ideal atau standar sebagai pedoman untuk perilaku) dan fakta (sesuatu yang dibuktikan berdasarkan pengamatan dan pengalaman).
3.          Analisis politik tidak boleh dipengaruhi oleh nilai-nilai pribadi si peneliti setiap analisis harus bebas-nilai. Sebab benar atau tidaknya nilai-nilai seperti misalnya demokrasi, persamaan, kebebasan, tidak dapat diukur secara ilmiah.
4.          Penelitian haru bersifat sistematis dan menuju pembentukan teori (theory building).
5.           Ilmu politik harus murni, kajian terapan untuk mencari penyelesaian masalah dan menyusun rencanaperbaikan harus dihindari. Akan tetapi ilmu politik harus terbuka dan terintergrasi dengan ilmu-ilmu lainnya.
Untuk mempermudah para cendekiawan melakukan analisis terhadap suatu kehidupan politik. Gabriel Almond membuat sistem analisa politik yang dapat memperjelas bentuk dari ilmu politik itu sendiri. Ia berpendapat bahwa semua sistem mempunyai struktur dan unsur-unsur dari struktur ini menyelenggarakan beberapa fungsi. Fungsi ini bergantung pada sistem dan juga pada fungsi-fungsi yang lain. Konsep ini disebut dengan structural-funtional.  Konsep dari fungsi struktur ini dibagi menjadi dua bagian yaitu input dan output. Input itu sendiri dibagi menjadi empat fungsi yaitu sosialisasi politik dan rekrutmen, artikulasi kepentingan, himpunan kepentingan dan komunikasi politik. Pada tahapan berikutnya ia meringkas fungsi struktur ini menjadi tiga bagian yaitu fungsi kapasistas, fungsi konversi dan pemeliharaan.dan fungsi adapsi. Sedangkan fungsi komunikasi adalah fungsi untuk menjalankan fungsi-fungsi itu semua. Lalu ada juga tiga fungsi output yang ia rinci antara lain membuat keputusan, mengaplikasikan peraturan dan memutuskan peraturan.
C.        Post-Behavioralism (Pendekatan Pasca perilaku)
Kritik-kritik yang diberikan kepada kaum tradisionalis membuat kaum tradisionalis tidak tinggal diam begitu saja. Mereka berbalik menyerang kaum behavioralism dengan kritik-kritik tentang cara pandang mereka mengenai politik. Menurut mereka pemikiran dari kaum behavioralism tidak relevan dengan keadaan politik yang terjadi dan terlalu berpusat pada hal-hal yang lebih tidak penting. Selain itu pemikiran kaum behavioralism terlalu bebas nilai. Padahal nilai merupakan salah satu bagian penting dari sebuah penelitian politik.
Menghadapi serangan yang datang akhirnya David Easton yang merupakan salah satu pengembang dari Kaum Behavioralism tidak tinggal diam begitu saja. Dia berusaha mempertahankan pendapat mereka namun bukan dengan menyerang balik dengan  kritik. Tetapi membuka diri terhadap kritik tersebut dan membenahi diri-sendiri.
Puncaknya tahun 1969, David Easton mendukung keberadaan pendekatan pasca perilaku dalam tulisannya The New Revolution in Political Science, dengan pokok-pokok rumusan dalam Credo of Relevance sebagai berikut [13]:
1.          Dalam usaha mengadakan penelitian empiris dan kuantitatif, ilmu politik menjadi terlalu abstrak dan tidak relevan dengan masalah sosial yang dihadapi. Padahal menangani masalah sosial lebih mendesak ketimbang mengejar kecermatan dalam penelitian
2.          Pendekatan perilaku secara terselubung bersifat konservatif, sebab terlalu menekankan keseimbangan dan stabilitas dalam suatu sistem dan kurang memerhatikan gejala perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
3.          Dalam penelitian, nilai-nilai tidak boleh dihilangkan; ilmu tidak boleh bebas nilai dalam evaluasinya. Malahan para cendekiawan mengemban tugas untuk melibatkan diri dalam usaha mengatasi masalah-masalah sosial dan mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan.
4.          Mereka harus merasa commited untuk aktif mengubah masyarakat agar menjadi lebih baik. Sarjana harus berorientasi pada tindakan.

D.        Kaum Neo-Marxism
Neo-Marxism adalah paham yang dianut oleh kalangan cendekiawan yang terinspirasi dari tulisan Marx Horkheimer. Kelompok Neo-Marxism menolak pemikiran dari kaum Behavioralism. Bagi Kaum Neo-Marxism, konflik antar kelas merupakan proses sosial yang paling penting untuk mendorong perkembangan masyarakat. Tapi hal ini tidak membuat kelompok Neo-Marxism menolak konflik dan gejala sosial lainnya, namun menurut mereka konflik antarkelas adalah yang terpenting untuk menghapus ketidak adilan dan tatanan masyarakat yang memenuhi kepentingan masyarakat. Dengan munculnya sistem kelas maka akan terjadi dominasi dimana dominasi ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya konflik sosial lainnya dengan cara persuasi, konsesi dan paksaan.

E.         Pendekatan Intitusionalism Baru
Pendekatan Intitusionalism Baru berbeda dengan pendekatan intitusionalism lama. Pendekatan ini kini berkembang dalam penelitiannya yang tidak hanya memperhatikan suatu lembaga dalam bentuk statis. Namun juga berpikir tentang “bagaimana” lembaga tersebut dapat memajukan masyarakatnya. Penekanan pendekatan ini ada pada intitusi yang berwenang karena yang mengatur mengenai perkembangan dan keadaan masyarakatnya adalah intitusi itu sendiri. Intitusilah yang mempengaruhi dan menentukan cara-cara para aktor dari penggerak intitusi dalam mencapai tujuannya.
Harapan dari pendekatan ini bertujuan untuk membentuk suatu lembaga-lembaga negara menjadi lebih efektif dan efisien. Sedangkan pokok masalahnya adalah bagaimana kesatuan himpunan institusi menjadi efektif sebanyak preferensi dari para aktor yang menentukan kepentingan kolektif. Proses pengembangan ini bisa disebut dengan intitusional engineering melalui suatu intitusional design.

F.         Pendekatan Pilihan Rasional
Pemikiran ini muncul disaat adanya pemfokusan dalam pendalaman terhadap pendekatan ekonomi. Pendekatan pilihan Rasional dapat dibilang bisa membuat ilmu politik segabai ilmu science yang dapat memperhitungkan dengan pasti dalam segi ekonomi. Bagi Pendekatan ini, para cendekiawan menganggap bahwa manusia memiliki sikap yang dapat ditebak jika dihubungkan dengan ekonomi. Karena kepastian manusia terhadap kebutuhan ekonomi mereka termasuk dalam bertahan hidup.Pendekatan ini juga merumuskan suatu permasalahan politik dengan sebab akibat. Seseorang yang berpkiran rasional pasti memiliki pasti memiliki tujuan-tujuan yang mencerminkan dari kepentingannya dalam pengambilan suatu tindakan.

  

This entry was posted in

0 comments:

Posting Komentar