Sejarah Perekonomian China
Pada 1978, China merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) riil per kapita China hanya seperempat dari PDB Amerika Serikat dan sepersepuluh dari Brazil. Hal ini di sebabkan karena China mengalami krisis pangan yang berulang sebelum tahun 1978. Maka tidak heran jika reformasi perekonomiannya di mulai dari sektor pertanian. Deng Xiaoping sebagai Ketua Komisi Penasihat Pusat PKC telah menjadi tokoh sentral dalam usaha modernisasi di China.[1] Deng terkenal dengan gagasan-gagasan yang berciri pragmatis. Reformasi dan keterbukaan yang di tetapkan pada sidang pleno ke-3 Komite Sentral PKC ke XI Desember 1978, sasaran utamanya adalah mewujudkan cita-cita empat modernisasi (si ge xiandaihua) yang sebelumnya di canangkan oleh Zhou Enlai seorang Perdana Menteri RRC.
Prinsip dasar program yang di motori Deng Xiaoping adalah zou ziji de lu atau “berjalan di atas jalan sendiri”, yang kemudian terus dikembangkan menjadi konsep yang di sebut zhongguo te se de shihui zhuyi atau “sosialisme dengan karakteristik China”.[2] Reformasi China dimulai dengan sektor pertanian. Pertama, pemerintah menaikkan harga barang pertanian. Kedua, “sistem pertanian kolektif” yang sebelumnya dijalankan di ganti menjadi “household responsibility system”. Di bawah sistem baru ini, setiap rumah tangga tani di beri kuota tetap biji-bijian yang harus di jual kepada pemerintah dengan harga resmi. Namun, setiap tambahan biji-bijian yang di hasilkan rumah tangga tani bisa di jual dengan harga pasar.
Reformasi ini dilaksanakan secara bertahap dan selesai pada tahun 1984. Antara tahun 1978 dan 1984 produktivitas total faktor di sektor pertanian tumbuh 5,62 % per tahun. Beberapa penelitian berpendapat bahwa sebagian besar pertumbuhan produktivitas selama periode ini dapat dikaitkan dengan harga dan reformasi institusional yang menghasilkan efek insentif positif terhadap upaya petani dan pilihan pendapatannya. Namun demikian, produktivitas pertanian maupun transformasi struktural mengalami stagnasi pada pruh kedua tahun 1980-an. Mulai sekitar tahun 1990, pasar untuk pemasukan dan pengeluaran pertanian secara bertahap di liberalisasi dan intervensi pemerintah berkurang secara signifikan.[3]
Selanjutnya, kongres ke-15 Partai Komunis China yang diadakan pada tahun 1997 menjadi salah satu tonggak sejarah dalam kebijakan ekonomi China moderen. Kongres secara formal menyetujui reformasi kepemilikan perusahaan milik negara dan juga melegalkan pengembangan perusahaan swasta. Dengan berkurangnya hambatan hukum, perusahaan swasta tumbuh pesat. Perusahaan-perusahaan kolektif yang berada dalam pedesaan, lambat laun di tutup dan beberapa di antaranya di privatisasi. Sebagai bagian dari keikut sertaannya dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001, Pemerintah China mulai memangkas tarif, memperluas hak perdagangan, dan meliberalisasi rezimnya untuk Foreign Direct Investment (FDI). Antara tahun 1998 dan 2007, pangsa total lapangan kerja perkotaan di perusahaan swasta dalam negeri meningkat dari 8 menjadi 24 persen. Kenaikan sektor manufaktur malah lebih terasa. Pada tahun 2007, perusahaan swasta dalam negeri menyumbang 51 persen dari total lapangan kerja.[4]
Dengan populasi 1,3 miliar, China saat ini menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar dunia dan semakin berperan penting dalam pembangunan dan ekonomi global. Namun, China tetap menjadi negara berkembang, hal ini dikarenakan pendapatan per kapita masih kalah dengan negara-negara maju dan reformasi pasarnya tidak lengkap. Menurut standar kemiskinan China saat ini pendapatan bersih pedesaan per kapita sebesar RMB 2.300 per tahun pada harga konstan 2010. Ada 55 juta orang miskin di daerah pedesaan pada tahun 2015. Kemunculan ekonomi yang cepat juga membawa banyak tantangan, termasuk ketidaksetaran yang tinggi, urbanisasi yang cepat, tantangan terhadap kelestarian hidup, dan ketidakseimbangan eksternal, seperti tingginya pertumbuhan demografis dan migrasi tenaga kerja.[5]
Sistem Perekonomian China
Reformasi ekonomi yang dilakukan China tepat pada saat dimana negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi yang bisa dikatakan sukses. Penelitian terhadap keberhasilan peningkatan pada pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Timur tersebut terdiri dari tiga pilar: reformasi agrikultur, manfatur ekspor, dan represi finansial.[6] Keberhasilan pilar-pilar ini kemudian diadopsi China pada era Mao meskipun memiliki perbedaan dalam dua hal, yaitu China lebih mengandalkan BUMN dan perluasan peran foreign direct investment (FDI) dimana hal ini tidak terjadi pada negara-negara Asia Timur saat itu.[7]
Pada pelaksanaan ekonomi politik China, kita harus melihat individu dan struktur birokrasi yang ada pada pemerintahan China. China merupakan negara birokrat-otoriter, peran institusi dalam pembentukan arah kebijakan ekonomi cukup besar. Tetapi, dalam sistem politik China, peran otoritas personal pemimpin lebih besar dari semua otoritas yang ada. Negara lain secara umum memiliki proses pembuatan kebijakan luar negeri dengan top-level strategy yang dirancang oleh Presiden atau Perdana Menteri, kemudian diimplementasikan oleh Menteri Keuangan dan stakeholders lainnya. Lain halnya dengan pembuatan kebijakan ekonomi China yang cenderung rumit untuk digambarkan. Pada dasarnya, pembuatan segala kebijakan China adalah tersentral/terpusat dengan peran besar birokrat partai dan pemerintah China.[8]
Meskipun demikian, sentralitas Pemerintah China secara formal tidak sepenuhnya diaplikasikan karena pada praktiknya yang terjadi adalah desentralisasi pada setiap pemerintahan lokal. Desentralisasi pada kasus China bisa diartikan secara kuantitatif dan kualitatif. Ukuran mudah dari aspek kuantitatif adalah proporsi keuntungan fiskal dan pengeluaran daerah diambil alih oleh pemerintah lokal. Meski mereka mendapatkan keuntungan yang signifikan, namun, pemerintah lokal memiliki sedikit otoritas resmi dalam mengatur kebijakan pajak atau bunga pajak mereka. Tidak seperti negara lain, di China, beijing menentukan bentuk pajak apa saja yang dapat diterapkan atau tidak dan juga mengatur bagaimana keuntungan dapat dibagikan dengan merata.
Dinamika Perekonomian China
Pada abad ke-21, pengaruh China pun semakin signifikan, baik dalam kancah perpolitikan maupun perekonomian global. Hal ini sangatlah dipengaruhi oleh integrasi perekonomian China ke dalam perekonomian global. Justin Yifu Lin dalam artikelnya tahun 2011 berjudul China And The Global Economy mendeskripsikan laju pertumbuhan ekonomi China.
Reformasi ekonomi 1970-an membantu China dalam melakukan perubahan struktural ekonomi. Struktur ekonomi yang tadinya didominasi oleh sektor agrikultur kini lebih ke arah ekonomi yang mengandalkan sektor industri dan jasa. Sejak reformasi ekonomi mulai diterapkan tahun 1979, China mulai menunjukkan tanda-tanda akan pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat. Hal ini dibuktikan dengan rata- rata pertumbuhan ekonomi sebesar 9% dalam periode 1979 hingga 1990. Pada periode 1990-an, China terus berhasil mempertahankan tren pertumbuhan ekonomi yang tinggi, hampir tidak terpengaruh oleh krisis finansial Asia.[9]
Sejak diperkenalkannya reformasi ekonomi, ekonomi China tumbuh jauh lebih cepat daripada pada periode pra-reformasi, dan, sebagian besar, telah menghindari gangguan ekonomi yang besar. Dari tahun 1979 sampai 2014, GDP riil tahunan China rata-rata hampir 10% Ini berarti, rata-rata, China telah mampu melipatgandakan ukuran ekonominya secara riil setiap delapan tahun. Perlambatan ekonomi global, yang dimulai pada tahun 2008, mempengaruhi ekonomi China (terutama sektor ekspor). Pertumbuhan PDB riil China turun dari 14,2% di tahun 2007 menjadi 9,6% di tahun 2008, dan melambat menjadi 9,2% di tahun 2009. Sebagai tanggapan, Pemerintah China menerapkan kebijakan untuk menstimulasi ekonomi domestik.
Langkah-langkah ini mendorong investasi dan konsumsi domestik dan membantu mencegah perlambatan ekonomi yang tajam di China. Dari tahun 2009 sampai 2011, pertumbuhan PDB riil China rata-rata 9,6%. Perekonomian China telah melambat dalam beberapa tahun terakhir - pertumbuhan PDB riil turun dari 10,4% di tahun 2010 menjadi 7,8% di tahun 2012, menjadi 7,3% pada tahun 2014. IMF memproyeksikan bahwa pertumbuhan GDP riil China akan melambat menjadi 6,8% pada tahun 2015 dan menjadi 6,3% di tahun 2016.[10]
Pada 1990, perekonomian China hanya mencakup 1,6% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, dan 19 tahun kemudian, ekonomi China merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia dan telah mencakup 8,6 % dari PDB dunia. Pada 2014, ukuran perekonomian China telah mencapai setengah dari perekonomian Amerika Serikat. Padahal pada 2 dekade sebelumnya, perekonomian Amerika Serikat berukuran 15 kali lipat perekonomian China. Dengan posisi ekonomi terbesar nomor dua di dunia (mulai dari 2009), China diprediksi akan menggeser Amerika Serikat dari segi PDB nominal (dalam miliar dolar AS) pada 2026 dan mampu mempertahankan posisinya sebagai ekonomi terbesar dunia hingga 2050.[11]
Kedudukan China yang kukuh dalam perekonomian global ini membuat dunia internasional bertanya-tanya. Apa faktor yang membuat China dapat menjadi seperti itu? Menurut Martin Jacques, ia menyebutkan bahwa faktor paling penting di balik kekuatan ekonomi China dalam perekonomian global tidak lain adalah perdagangan internasional China. Faktanya adalah, ekspansi perdagangan internasional China merupakan produk hasil dari kebijakan export oriented growth pemerintah China, yang meliputi kebijakan nilai tukar dan kebijakan suportif lainnya yang memfasilitasi perdagangan, investasi, dan transaksi finansial.[12]
Dalam kurun waktu 10 tahun, China mampu menyalip Amerika Serikat dari segi ekspor. Hal ini tidaklah mengejutkan mengingat Amerika mulai menunjukkan tanda-tanda stagnasi pertumbuhan. ekonomi sejak akhir abad 20. Hal ini semakin diperparah oleh adanya efek dari krisis finansial global pada 2008, yang hampir saja mendorong Amerika ke dalam situasi layaknya Great Depression pada 1929. China telah berhasil menjadi pasar tujuan ekspor/asal impor dengan market share yang besar di banyak negara. Hal ini menunjukkan orientasi China untuk terus membuka pasar baru di berbagai belahan dunia.
Misalnya, dalam periode 2003- 2012, jumlah perdagangan total negara-negara Afrika secara keseluruhan dengan China berhasil mengungguli jumlah perdagangan Afrika dengan negara/kawasan lainnya, hal ini dibuktikan dengan China mengukuhkan kedudukannya sebagai mitra dagang terbesar dari Afrika pada 2011.[13]
Dengan keaktifan China sebagai pengekspor dan negara yang ingin mengukuhkan kedudukannya di berbagai region, China tidak diam di situ saja. Pemerintah China juga terlibat dalam bentuk kesepakatan perdagangan bilateral dengan negara-negara lain. Bergabungnya China dengan World Trade Organization (WTO) pada 2001 semakin menegaskan maksud China untuk menciptakan suatu hegemoni ekonomi global. Jelas, China berusaha untuk melihat kawasan mana yang memiliki potensi ekonomi yang dapat memberikan manfaat bagi perekonomian China secara berkelanjutan.
Pada akhirnya, perekonomian China yang semakin besar tentunya akan membawa implikasi-implikasi baru bagi perekonomian global, khususnya terhadap kestabilan perekonomian di kawasan-kawasan regional di sekitar China. Contohnya adalah ASEAN. Pertumbuhan ekonomi ASEAN merupakan salah satu yang paling stabil di dunia. Jika perekonomian negara-negara ASEAN dijumlahkan, maka perekonomian tersebut adalah perekonomian terbesar ketujuh di dunia, dengan nilai PDB sebesar 2,4 triliun dolar AS pada 2013.[14] Hal ini kemudian menjadikan ASEAN sebagai mitra dagang nomor 5 terbesar bagi China dengan nilai transaksi perdagangan pada 2013 mencapai 68 miliar dolar AS, atau sebesar 14% dari total perdagangan ASEAN.[15]
One Belt One Road
One Belt One Road (OBOR) merupakan konsep Jalur Sutra Baru Cina diumumkan pertamakali dalam pidato Presiden Xi Jinping di dalam kunjungannya ke Kazakhstan dan ditegaskan kembali dalam KTT Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada tahun 2013. Hal ini merupakan momen pertama kalinya seorang pemimpin Cina menjelaskan visi strategisnya. Xi Jinping mempresentasikan proposal yang terdiri dari 5 poin utama untuk membangun bersama “Sabuk Ekonomi Jalur Sutra Baru” (the New Silk Road Economic Belt). Salah dua dari tujuan pembentukan OBOR adalah memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan halangan dagang (trade barriers) dan mengambil langkah mengurangi biaya perdagangan dan investasi. Kemudian, tujuan lainnya adalah untuk memperkuat kerjasama keuangan, dengan perhatian khusus pada penyelesaian mata uang yang dapat mengurangi biaya transaksi dan mengurangi risiko finansial sambil meningkatkan ekonomi yang kompetitif.[16]
Gagasan Jalur Sutra Baru dimunculkan berdasarkan fakta bahwa ekonomi domestik Cina mengalami perubahan struktural yang merefleksikan “keadaan normal baru” dari pelambatan ekonomi, yang membawa dampak ekonomi signifikan bagi kawasan Asia. Lebih penting lagi, hal ini merupakan sinyal perubahan dalam strategi dan kebijakan luar negeri Cina dengan prioritas utama pada hubungan dengan negara-negara tetangga.[17] Hal ini menjadi salah satu dinamika perekonomian China yang pada akhirnya akan menstimulasi peningkatan kegiatan ekonomi China.
Peluang dan Tantangan Ekonomi China
a. Peluang
China merupakan sebuah negara komunis yang memiliki tingkat perekonomian yang sampai saat ini tetap bertahan dengan ideologinya. China memang memiliki cara yang berbeda dalam pemerintahan komunis dibanding negara lain. Seperti kekuasaan absolut yang tidak hanya dimiliki oleh satu maupun beberapa keluarga elite (oligarki). China era modern juga tidak terlalu diktator seperti era pemerintahan Mao yang mengatur keseluruhan hingga kepada individu. Sebenarnya China sekarang bukan tidak mengatur individu namun pemerintah mengatur mereka melalui media. Akan tetapi di samping itu China masih fleksibel terhadap kebebasan untuk para rakyat itu sendiri. Sehingga kestabilan politik secara komunis itu, memudahkan China pula dalam mengatur ekonominya. Apabila kita melihat dari keseluruhan sistem ekonomi politik China dengan pondasi domestik yang kuat tentu saja hal ini menentukan bahwasanya system luar negeri China yang akan baik. Pada tahun 50-an pasca perang dunia kedua China masih sebagai negara dengan kemajuan teknologi yang rendah dibanding negara tetangganya seperti Jepang Korea Selatan dan Taiwan.[18]
Penulis melihat alasan mengapa China berhasil menjadi negara komunis maju dibanding Uni Soviet memiliki dua poin penting. Pertama, China berhasil mengembangkan ekonominya secara pesat sehingga tidak muncul kesulitan domestic maupun kebencian terhadap pemerintah, kedua China tidak terlalu kaku dalam ideology. Terakhir, China tidak terlalu memaksakan monopoli pemerintah dalam ekonomi. Lalu keberhasilan-keberhasilan tersebut yang membuka peluang China sebagai negara ekonomi maju.
Dari segi naiknya ekonomi, GDP China sejak tahun 2000 an meningkat secara pesat. China menduduki peringkat ketiga dunia dalam penghasilan GDP setelah Amerika Serikat dan Uni Eropa[19] pada tahun 2016. Di samping itu banyak negara yang berinvestasi seperti persoalan Raja Salman yang berinvestasi sebesar Rp. 891 Triliun untuk investasi minyak karena hubugannya dengan Amerika Serikat semakin tidak baik.[20] Penguatan kerjasama ekonomi China dengan sejumlah negara di Asia Pasifik, Asia Tenggara, Asia Selatan dan beberapa negara Afrika yang menunjukkan China telah menebar pengaruhnya sebagai negara ekonomi kuat di kawasan dan di luar kawasan.[21] China sekarang menjadi negara pengekspor barang dan jasa untuk negara-negara di dunia. Seperti, Jepang yang mengimpor barang dari China sebanyak 27% dari total keseluruhan Impor untuk negaranya, Amerika Serikat sebesar 22%, India 18% dan Jerman sebesar 10%. Dalam pengertian lain China dapat disebut sebagai pengekspor barang maupun jasa tersebsar di hampir semua negara-negara ekonomi maju.[22] China juga menjadi negara paling berpengaruh di BRICS sebuah organiasi ekonomi multinasional yang diperkirakan akan menggantikan G7.
Dari data yang saya sajikan di atas mulai dari kestabilan politiknya yang baik, serta pengaruh ekonominya di negara-negara maju di dunia memungkinkan membuat China sebagai negara ekonomi terbesar di dunia. Alasannya, China dengan sistem komunis yang masih mengatur kendali ekonominya namun tetap fleksibel terhadap sistem ekonomi liberal membuat China tidak mudah jatuh seperti yang terjadi pada Uni Soviet. Selain itu, dalam analisa saya, setelah banyaknya negara yang membangun investasinya di China serta penguatan pengaruh China sendiri yang tidak hanya di kawasan Asia dan Afrika namun juga di Amerika Latin[23], membuat saya yakin dalam beberapa tahun kedepan China dapat menjadi negara ekonomi paling maju di dunia. Walaupun dalam data statistik China masih dibawah Amerika Serikat dari GDP serta pertambahan perkapita China yang hanya di angka 6497 USD[24] (termasuk rendah untuk negara maju). Pada lain hal, saya tidak dapat menafikkan masih banyak kekurangan China dari banyak sektor termasuk mengenai kesejahteraan rakyat China maupun tantangan mereka dalam mengendalikan pasar untuk kedepannya. Hal itu akan lebih diperjelas pada bab tantangan.
b. Tantangan
Saat ini, pertumbuhan ekonomi Cina merupakan yang tercepat di dunia. Dari tahun 1979 dan setelah Cina menjadi anggota WTO pada tahun 2001 sampai 2007, gross domestic product (GDP) Cina tumbuh dengan rata-rata di atas 9 persen pertahun dengan GDP nyata pada tahun 2007 sebesar 11,4 persen. Meskipun begitu, Cina tetap menghadapi banyak tantangan akibat meningkatnya kejahatan korupsi, ketergantungan pada ekspor dan pertumbuhan investasi tetap, melebarnya disparitas pendapatan, serta meningkatnya inflasi. Atas hal tersebut, pemerintah Cina telah menyatakan akan berusaha menciptakan masyarakat harmonis (harmonious society) dengan harapan akan menambah keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan isu-isu sosial. Tantangan lain yaitu urbanisasi dan pertumbuhan manusia China yang masif seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat.
Pertumbuhan ekonomi Cina didominasi oleh dua hal, yaitu perdagangan dan investasi. Dari tahun 2004 sampai 2007, nilai total perdagangan barang-barang Cina meningkat hampir dua kali lipat. Pada tahun 2007, untuk pertama kalinya nilai total ekspor Cina sebesar 1.218 miliar dolar melebihi nilai total ekspor Amerika Serikat sebesar 1.162 miliar dolar. Lebih dari setengah perdagangan Cina dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang berada di Cina. Kombinasi dari besarnya surplus perdagangan, arus investasi asing langsung (foreign direct investment), dan pembelian mata uang asing dalam jumlah yang sangat besar, telah membantu menjadikan Cina sebagai negara pemegang cadangan devisa terbesar di dunia, yakni sebesar 1,9 triliun dolar pada akhir September 2008.[25] Dengan terjadinya reformasi ekonomi, perencanaan ekonomi yang terpusat di Cina telah dibatasi, yaitu dengan mengembangkan mekanisme ekonomi pasar dan mengurangi peran pemerintah. Pemerintah Cina mengembangkan struktur ekonomi rangkap, yaitu dari sistem ekonomi sosialisme dengan perencanaan ekonomi terpusat menuju sistem ekonomi sosialisme pasar (sistem ekonomi pasar dengan karakter sosialisme).[26]
Mulai awal abad ke-21, Cina nampaknya menghadapi ancaman militer yang nyata, terutama ancaman militer dari AS.[27] Cina mengartikan kekuatan ancaman atas keamanan nasionalnya dalam pemahaman yang komprehensif. Hal tersebut berarti ancaman yang datang dari dalam negeri merupakan segala-galanya dan ancaman yang datang dari luar selalu dilihat dalam konteks yang menyulitkan keamanan dalam negeri.[28] Satu-satunya ancaman yang dianggap potensial dan komprehensif adalah langkah-langkah AS yang dianggap melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri Cina, maka Cina setiap tahun selalu meningkatkan kekuatan dan kemampuan militernya untuk mengantisipasi risiko ancaman perang modern. Kekuatan militer tersebut juga untuk mengawal momentum strategis dalam upaya mewujudkan masyarakat Cina yang sejahtera melalui reformasi ekonomi untuk menjadi negara maju.
Dalam mewujudkan hal tersebut, Cina perlu unggul dalam kekuatan militer yang diperlukan untuk memelihara kondisi damai yang berkelanjutan dan dalam lingkungan internal maupun internasional yang kondusif. Oleh karena itu, meminjam istilah David Shambaugh, dalam tulisannya yang berjudul Pattern of Interaction in Sino-American Relations, pola hubungan Cina-AS digambarkan seperti siklus love and hate relationship karena dipengaruhi oleh adanya perbedaan kepentingan kedua negara yang dilatarbelakangi oleh perbedaan sistem nilai, stereotip, sistem ekonomi dan politik, sejarah, dan lain sebagainya.[29]
Kesimpulan
China saat ini menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang masif. Sejarah membuktikan bahwa dedikasi pemimpin China dalam membangun serta komitmen masyarakat dalam memperbaiki nasib bangsa telah membuahkan hasil yang luar biasa. Dinamika ekonomi China merupakan contoh yang sesungguhnya bisa ditiru oleh negara-negara yang mengidamkan transformasi ekonomi. China memiliki dinamika yang baik. Dinamika inipun tidak akan berhenti sampai di sini saja. China semakin melebarkan sayapnya ke berbagai kawasan, tidak hanya kawasan di sekitarnya saja. Hal ini membuat ekonomi China sangat terjamin bahkan hingga 30 tahun ke depan. Meskipun demikian, peluang yang dimaksimasimalisasi tentu tidak lepas dari tantangan-tantangan yang dihadapi pemeintah China. Peluang dan tantangan ini yang kemudian harus disikapi pemerintah China agar dapat memanajemen stabilitas ekonomi politik China.
*Saya meniadakan informasi referensi untuk menghindari plagiarism*
0 comments:
Posting Komentar