Latar Belakang
Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih-guna lahan.[1] Perubahan iklim yang membawa perubahan kondisi fisik atmosfer bumi mencakup suhu dan distribusi curah hujan bisa membawa dampak buruk terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak terjadi dalam waktu singkat, melainkan dalam kurun waktu yang cukup lama.[2] Kegiatan industri tersebut lebih banyak dilakukan oleh negara-negara maju (Developed Country) atau negara-negara industri maju dan membawa dampak yang buruk bagi negara-negara yang sedang berkembang (Developing Country).
Akibat emisi gas rumah kaca yang berlebihan telah banyak terjadi bencana alam, diantaranya bencana banjir, kekeringan, naiknya permukaan air laut di beberapa wilayah pantai di seluruh dunia, termasuk Negara-negara bagian di Amerika Serikat.[3] Selain lingkungan nasional Negara tersebut rusak, negara juga merugi karena kondisi ekonomi nasional yang terancam dan semakin merosot akibat sarana dan infrastruktur pendukung kegiatan ekonomi ikut hancur.[4]
Hal ini mendorong kebijakan serupa yang ditempuh oleh Negara maju maupun sedang berkembang dalam merumuskan arah pembangunannya. Sumber daya alam terus menerus dieksploitasi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa memperdulikan ketersediaannya di alam dan tanpa mempedulikan beban yang kemudian harus ditanggung lingkungan hidup. Satu hal yang terlambat disadari, bahwa sesungguhnya negara-negara Selatan adalah pihak yang paling dirugikan dari model pembangunan eksploitatif ini.
Menyikapi kondisi perkembangan alam global yang cenderung berubah bahkan berkelanjutan, atas inisiatif PBB, dibentuklah Konvensi Kerangka Kerja Tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) di Brazil, pada tahun 1992.[5] Perserikatan Bangsa-Bangsa Kerangka Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) adalah sebuah perjanjian yang dihasilkan di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Konferensi Lingkungan dan Pembangunan (UNCED), informal dikenal sebagai Earth Summit, yang diadakan di Rio de Janeiro dari 3 sampai 14 Juni 1992. Pertemuan ini berlanjut dan diseleggarakan tiap tahun dengan hasil kesepakatan yang bervariasi. Termasuk Konferensi Perubahan Iklim tahun 2015 di Paris.
UNFCCC yang juga merupakan nama Perserikatan Bangsa-Bangsa Sekretariat diisi dengan mendukung pengoperasian Konvensi, dengan kantor di Haus Carstanjen, Bonn, Jerman. Tujuan utama dari Konvensi ini adalah untuk mencapai stabilisasi dari konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat yang berbahaya dimana zat anthropogenic akan mencegah gangguan pada sistem iklim. Tingkat tersebut harus dilakukan dalam waktu yang cukup untuk membantu ekosistem alami untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, hal ini dilakukan agar dapat memastikan bahwa produksi makanan tidak terancam dan juga mengaktifkan pembangunan ekonomi secara berkelanjutan.
Perubahan iklim global pertama kali dibahas dalam kebijakan Amerika Serikat yang dimulai pada awal 1960an. Environmental Protection Agency (EPA) mendefinisikan perubahan iklim sebagai "perubahan signifikan dalam ukuran iklim yang berlangsung dalam waktu lama." Pada dasarnya, perubahan iklim mencakup perubahan besar pada suhu, presipitasi, atau pola angin, serta efek lainnya, yang terjadi selama beberapa dekade atau lebih.[6] Kebijakan perubahan iklim di AS telah berubah dengan cepat selama dua puluh tahun terakhir dan sedang dikembangkan baik di tingkat negara bagian maupun federal. Politik pemanasan global dan perubahan iklim telah memolarisasi partai politik dan organisasi lainnya. Dinamika kebijakan luar negeri ini kemudian dapat dilihat dari periodisasi kepemimpinan, termasuk kebijakan Amerika Serikat dalam konferensi perubahan iklim yang diselenggarakan oleh UNFCCC.
Berdasarkan United States Environmental Protection Agency (EPA), Amerika Serikat sebagai Negara maju memproduksi 6,587 juta karbondioksida setara dengan emisi gas rumah kaca pada 2015.[7] Dibandingkan tingkat tahun 1990, emisi telah meningkat sekitar 4 persen. Dari tahun ke tahun, emisi bisa naik dan turun akibat perubahan ekonomi, harga bahan bakar, dan faktor lainnya.[8]
Pada 2015, Amerika Serikat dan Tiongkok yang merupakan negara penyumbang emisi terbesar di dunia berlomba-lomba dengan 150 negara lainnya untuk menjalankan program mengatasi emisi hingga 2020.[9] Dalam pidatonya di pembukaan KTT Perubahan Iklim (COP21) di Paris, Presiden Amerika Serikat (AS) Barrack Obama mengakui bahwa negaranya ikut bertanggung jawab atas bencana perubahan iklim.[10] Hal ini dikarenakan selain dari Partai Demokrat yang cenderung concern terhadap perubahan iklim, Presiden Obama pun lebih memilih untuk memperkuat kebijakan domestik dalam memerangi perubahan iklim global. Kebijakan ini termasuk membuat domestic cap-and-trade program dan meningkatkan investasi yang menggunakan clean energy. Sehingga tidak heran apabila Amerika Serikat mau turut andil dalam upaya pengurangan emisi gas rumah kaca dunia.[11]
Kerangka Pemikiran
Pemakalah akan menggunakan dua konsep dalam menganalisa penelitian ini, pemakalah menggunakan teori green politics dan konsep kebijakan luar negeri. Kedua kerangka pemikiran ini dirasa mampu menjelaskan kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah Amerika Serikat dalam UNFCCC pada Konferensi Perubahan Iklim, Paris 2015.
a. Teori Green Politics
Teori green politics merupakan salah satu teori dalam hubungan internasional yang berkembang karena adanya krisis lingkungan global yang disebabkan oleh kegiatan perekonomian secara masif. Selain itu, teori ini hadir disebabkan oleh adanya pengetahuan dan kekhawatiran manusia akan pentingnya melestarikan dan menjaga lingkungan dengan melakukan gerakan aksi pelestarian lingkungan di berbagai belahan dunia. Green politics muncul sebagai kekuatan politik yang signifikan sejak 1970-an sampai saat ini.[12]
Green politics memandang struktur politik, sosial, ekonomi, dan norma-norma politik internasional sebagai sumber utama dari krisis lingkungan global yang terjadi saat ini.[13] Teori ini digunakan untuk menjelaskan penolakan eksosentrisme terhadap dunia antroposentrisme. Antroposentris sendiri pada dasarnya dapat didefinisikan sebagai suatu pandangan yang memiliki keyakinan bahwa manusia diciptakan dengan kedudukan yang lebih tinggi dari pada ciptaan yang lain, sehingga dengan kata lain, antroposentris merupakan pandangan yang meyakini bahwa kedudukan manusia lebih tinggi daripada alam itu sendiri.[14]
Teori ini dimasukkan ke dalam salah satu teori alternatif hubungan internasional karena masyarakat global yang menyebabkan tingginya masalah lingkungan yang terjadi tidak hanya pada satu tempat saja. Teori ini tidak memberikan pemikiran tentang bagaimana kita melakukan seperti halnya penghijauan, global warming, dan sebagainya, tetapi pembahasan didalamnya tidak hanya isu lingkungan namun, HAM, keadilan juga menjadi salah satunya.[15]
Menurut Eckersley, dalam mewujudkan ekosentrisme dibutuhkan bentuk struktur politik global yang baru, dalam rangka melawan struktur sistem internasional saat ini yang bersifat saling bergantung dalam segala aspek. Bentuk baru ini diproyeksikan dapat menciptakan suatu struktur sistem internasional yang bersifat ramah lingkungan untuk melindungi alam. Oleh karena itu, diperlukan sebuah sistem baru yang bersifat desentralisasi.[16] Green politics tidak hanya menekankan pada pendekatan desentralisasi saja untuk memperbaiki dan melindungi lingkungan, melainkan juga menekankan pada pendekatan global, karena jika semua kekuasaan didesentralisasi untuk mengatur perlindungan lingkungan, maka tidak aka nada mekanisme yang mengatur respon terhadap permasalahan lingkungan regional dan global.[17]
Oleh karena itu, mengatasi permasalahan lingkungan dalam hal ini mengurangi emisi gas rumah kaca akibat industrialisasi besar-besaran di Amerika Serikat harus dilakukan tidak hanya dengan menerapkan desentralisasi kebijakan bagi setiap wilayah Amerika Serikat melainkan melakukan pendekatan global, dan juga dengan hadir dalam setiap pertemuan terkait perubahan iklim serta aktif dalam mempromosikan dan mengimplementasikan kebijakan yang bertujuan untuk melestarikan lingkungan.
b. Konsep Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri merupakan serangkaian formula, sikap, arah, serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional.[18] Kebijakan luar negeri lain baik di bidang politik, ekonomi, sosial, dan militer. Oleh karena itu, aktor-aktor negara melakukan berbagai macam kerjasama baik kerjasama bersifat bilateral, trilateral, regional, dan multilateral.[19] Kebijakan luar negeri tentunya mempunyai tujuan yang harus diaplikasikan dalam setiap pelaksanaannya. Menurut William Wallace, kebijakan luar negeri merupakan arena politik yang merupakan jembatan penting terhadap semua masalah (hambatan) yang ada di antara negara bangsa, dan lingkungan internasional.
Setiap negara yang ikut serta dalam setiap konferensi perubahan iklim tentunya mempunyai kebijakan yang merupakan wujud dari kepentingannegaranya. Menurut Hill, kebijakan luar negeri dapat ditafsirkan sebagai sebuah instrumen ataupun sarana untuk menghubungkan tarik-menarik kepentingan yang terus berjalan simultan antara tuntutan internasional dan eksternal terhadap pemerintah. Oleh karenanya, menentukan pilihan atas cara yanglebih demokratis atau lebih efisien menjadi sesuatu yang tidak mudah dalam prosespengambilan kebijakan luar negeri.
Kemudian, Leonardo hutabarat mengemukakan bahwa elemen dalam pembuatan kebijakan luar negeri didasarkan pada pembuat keputusan itu sendiri, sehingga sebuah kebijakan tidak akan terlaksana tanpa adanya komitmen untuk mencapai tujuan dengan keseimbangan antara kemampuan yang diperlukan dalam menigimplementasikannya. Hutabarat juga mengatakan bahwa sebuah ukuran, status, sumber daya yang dimiliki, dan faktor manusia adalah faktor penting dalam studi kebijakan luar negeri.[20]
K.J. Holsti mengeluarkan argumen bahwa kebijakan luar negeri adalah strategi atau rencana tindakan yang dibentuk oleh para pembuat keputusan suatu negara dalam menghadapi negara lain atau unit politik internasional lainnya dan dikendalikan untuk mencapai tujuan nasional yang dituangkan dalam kepentingan nasional.[21] Menurut Holsti, terdapat dua faktor yang mempengaruhi kebijakan luar negeri, yaitu; internal (domestik) dan eksternal. Dalam penulisan penelitian ini, dijelaskan faktor internal dan faktor eksternal yang paling dominan untuk menjelaskan latar belakang kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada saat konferensi perubahan iklim di Paris pada 2015.
Holsti (1992, 272) menjelaskan bahwa faktor internal terdiri dari kondisisosio-ekonomi, karakteristik geografis dan demografi, struktur pemerintahan, dan atribut nasional serta opini masyarakat Amerika Serikat tentang masalah ekonomi dan lingkungan. Karakteristik geografis dan demografis menggambarkan bahwa Amerika Serikat merupakan negara besar serta jumlah penduduknya bisa dikatakan besar. Struktur pemerintahan menggambarkan bahwa struktur pembagian kekuasaan pemerintah Amerika Serikat terbagi menjadi tiga bagian yaitu legislatif, eksekutif dan yudikatif serta kebijakan pemerintah Amerika Serikat mengenai isu lingkungan hidup dengan membuat kebijakan terkait dengan perubahan lingkungan. Sementara, faktor eksternal menurut Holsti (1992, 272) terdiri dari struktur sistem, tujuan dan tindakan aktor-aktor lain, masalah regional dan global, sertahukum internasional dan opini dunia.[22]
Perubahan Iklim di Amerika Serikat
Pemanasan global merupakan isu penting bagi Amerika Serikat. Dalam lima puluh tahun terakhir, suhu udara rata-rata AS meningkat lebih dari 2°F dan curah hujan meningkat 5%, dengan lebih banyak hujan turun dalam hujan deras.[23] Perubahan lainnya termasuk kejadian cuaca ekstrem yang lebih sering dan intens (gelombang panas, kekeringan), badai yang lebih merusak, suhu air yang lebih tinggi, kenaikan permukaan air laut, dan badai musim dingin yang lebih kuat.[24] Dampak perubahan iklim cenderung lebih parah terlihat jelas pada siklus air. Tingkat air laut yang semakin meninggi dan gelombang badai akan mengancam daerah pesisir.[25] Perubahan iklim dapat mengakibatkan tekanan sosial dan lingkungan yang lain dan mengancam kesehatan manusia. Selain itu, "perubahan iklim yang meluas dan dampaknya bergantung pada pilihan yang dibuat saat ini," mengurangi emisi atau menyesuaikan diri dengan perubahan yang tidak dapat dielakan.[26]
Di Amerika Serikat, seperti di negara lain, memproduksi gas rumah kaca dalam bentuk karbon dioksida yang dipancarkan dalam jumlah terbesar.[27] Gas rumah kaca lainnya, bagaimanapun, memiliki potensi dalam menyumbang pada pemanasan global yang lebih banyak (GWP). Misalnya, metana memiliki GWP 25 (25 kali lebih kuat, untuk bobot yang sama, dari pada C02); Ni trous oxide, 298. Gas GWP tinggi adalah sulfur hexafluorida (SF6, GWP 22.800), hidrofluorokarbon (HFC, 12-14,800), dan karbon perfluoro (PFC, 7390-12.200).[28] Data emisi sering dinyatakan sebagai setara C02, Unit pengukuran yang mengekspresikan GWP gas lain dalam hal potensi pemanasan C02.[29]
Total emisi GRK antropogenik untuk tahun 2008 di Amerika Serikat adalah 6.956,8 teragrams[30] setara C02 (Tg C02e), 14% lebih banyak dari tahun 1990.26 Emisi bersih pada tahun 2008 adalah 6,016,4 Tg C02e, setelah pengurangan 940,3 Tg C02e untuk penyimpanan karbon (Penyerapan karbon dari penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, dan kegiatan kehutanan).[31] Total emisi gas rumah kaca di AS pada tahun 2008 adalah 2,9% lebih rendah dari tahun 2007, adanya penurunan ini disebabkan oleh kenaikan biaya bahan bakar yang mengakibatkan lebih sedikit permintaan untuk bahan bakar transportasi dan listrik; Penurunan emisi C02 mengimbangi kenaikan kecil emisi gas rumah kaca lainnya.[32] Antara tahun 2007 dan 2008, intensitas gas rumah kaca (metrik ton C02e per juta dolar dari produk domestik bruto) turun sebesar 2,6%, sementara antara tahun 2006 dan 2007, intensitas emisi turun Hanya 0,6%, tingkat perbaikan yang relatif lambat.[33] Mayoritas emisi GRK 2008 di Amerika Serikat adalah C02 (85,1%), yang sebagian besar terkait dengan energi. Emisi penting lainnya adalah metana (8,2%), nitrous oxide (4,6%), dan gas GWP tinggi (2,2%). Emisi C02 kebanyakan berasal dari bahan bakar fosil, terutama di lima sektor utama: pembangkit listrik, transportasi, Industri, perumahan, dan komersial.
Amerika Serikat dan International Climate Negotiations
Tak lama setelah menjabat pada tahun 2001, mantan Presiden George W. Bush menarik dukungan Amerika Serikat untuk Protokol Kyoto dan menolak menyerahkannya ke Kongres untuk diratifikasi. Sejak saat itu, Amerika Serikat terus menolak untuk berkomitmen pada instrumen internasional yang mengikat secara hukum dengan target pengurangan emisi kuantitatif.[34] Posisi Amerika Serikat disebut-sebut sebagai emiten global terbesar kedua setelah Tiongkok telah sangat mempengaruhi perundingan UNFCCC (United Nation's Framework Convention on Climate Change).[35] Negara-negara berkembang utama seperti Tiongkok, India dan Brasil tidak bersedia mengadopsi target mitigasi yang mengikat secara hukum kecuali AS maju dan juga melakukan target tersebut. Selama bertahun-tahun situasi ini telah membuat perkembangan dalam negosiasi UNFCCC cenderung sulit. Pada KTT Kopenhagen 2009, Amerika Serikat membuat sebuah janji dalam kisaran pengurangan emisi 17% pada tahun 2020 dibandingkan dengan tingkat tahun 2005 sesuai dengan undang-undang energi dan iklim AS yang diantisipasi.[36]
Pada 12 November 2014, tepat menjelang dimulainya babak baru perundingan iklim internasional di bawah UNFCCC (COP 20) di Lima, Amerika Serikat mengumumkan bersama-sama dengan Tiongkok mengenai target mitigasi pasca-2020. Amerika Serikat bermaksud untuk mencapai target pengurangan emisi secara keseluruhan sebesar 26% -28% di bawah tingkat tahun 2005 di tahun 2025 dan melakukan upaya terbaik untuk mengurangi emisinya hingga 28%.
Kedua belah pihak berniat untuk terus berupaya meningkatkan ambisi dari waktu ke waktu dan bahwa target tersebut merupakan bagian dari usaha jangka panjang untuk mencapai dekarbonisasi mendalam terhadap ekonomi global dari waktu ke waktu. Menurut fakta yang dilansir dengan pengumuman tersebut, target baru ini bermaksud untuk menjaga agar Amerika Serikat berada di jalur yang benar untuk mencapai pengurangan ekonomi yang dalam pada urutan 80% pada tahun 2050.
Amerika Serikat dan Paris Climate Agreement 2015
Perjanjian Paris menandai dimulainya fase baru dalam upaya internasional untuk mempromosikan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Perjanjian tersebut menetapkan tujuan dalam rangka mempertahankan kenaikan suhu global ke bawah 2°C di atas tingkat pra-industri, dan berusaha tidak lebih dari 1,5°C. Pada 1 Agustus 2016, 162 Intended Nationally De-termined Contributions (INDCs) telah diserahkan ke Sekretariat Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim (UNFCCC). Karena negara-negara Uni Eropa (EU) mengajukan INDC gabungan, ini berarti bahwa hampir 200 negara telah mengajukan janji. Namun, kesepakatan yang ada tidak sampai pada penurunan target 2°C. Sebuah penilaian yang dilakukan oleh tim ahli internasional dan dipublikasikan di jurnal Nature bahwa INDCs yang ada kemungkinan besar hanya akan menjaga kenaikan suhu antara 2.6°C dan 3.1°C pada tahun 2100.[37]
Meskipun Pemerintahan William J. Clinton menandatangani Protokol Kyoto pada tahun 1997, namun kelanjutan daari itu Pemerintahan George W. Bush membatalkan kesepakatan tersebut pada tahun 2001. Setelah dilantik dan memasuki kantor pada tahun 2009, Barack Obama memberi isyarat niatnya untuk sekali lagi mengambil peran kepemimpinan AS dalam negosiasi iklim. Dua strategi saling terkait telah diajukan.[38] Satu telah mendapatkan kerja sama dari Tiongkok dan India dan yang lainnya telah menargetkan emisi dari mobil dan pembangkit listrik di dalam negeri.
Tahun-tahun upaya untuk meningkatkan kerjasama iklim bilateral dengan Tiongkok menyebabkan pernyataan pers bersama oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping dan Presiden Obama pada November 2014 dimana mereka mengumumkan target iklim 2030 mereka.[39] Obama berjanji bahwa AS akan mengurangi emisinya sebesar 26-28 persen di bawah tingkat tahun 2005 pada tahun 2025, dengan upaya terbaik untuk mengurangi sebesar 28 persen. Presiden Xi Jinping mengumumkan bahwa Tiongkok akan mencapai puncak emisi gas rumah kaca sekitar 2030 dan jika kemungkinan awal pencegahan yang bisa dilakukan adalah meningkatkan penggunaan energi non-fosil hingga 20 persen, menurunkan intensitas karbon PDB sebesar 60 sampai 65 persen di bawah tahun 2005 Tingkat pada 2030 dan melakukan penghjauan. Prestasi luar biasa ini, yang membantu memecahkan kebuntuan dalam negosiasi internasional, tidak akan mungkin terjadi jika kedua negara tidak menunjukkan bahwa mereka siap untuk mengambil langkah serius untuk mengatasi emisi GRK domestik mereka.[40]
Dalam rangka menunjukkan progress penanggulangan perubahan iklim, Pemerintahan Obama harus menemukan cara untuk mengatasi penolakan Kongres terhadap tindakan terkait perubahan iklim. Environmental Protection Agency (EPA) telah mengamanatkan Pemerintah Federal untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka sebesar 40 persen dibandingkan tingkat tahun 2008 pada 2025 dan memanfaatkan penggunaan listrik dari sumber yang terbarukan.[41] EPA telah mengeluarkan serangkaian standar efisiensi bahan bakar baru untuk mobil dan kabel ringan dan berat berdasarkan Undang-Undang Udara Bersih AS. Pada tahun 2013, Rencana Aksi Iklim Presidium (2013) diumumkan (Kantor Eksekutif Ecuive 2013, 2013). Rencana tersebut menggariskan langkah-langkah untuk mengurangi polusi karbon agar memungkinkan untuk memenuhi "sukarela" janji untuk memotong emisi yang dibuat Obama di Kopenhagen (untuk mengurangi emisi gas rumah kaca AS sebesar 17 persen pada tingkat tahun 2005 pada tahun 2025) dan membuka jalan bagi pembentukan Dari Rencana Kekuatan Bersih.[42]
Pemerintahan Obama juga berusaha membentuk Kesepakatan Paris sedemikian rupa sehingga tidak memerlukan ratifikasi oleh Senat.[43] Posisi Pemerintahan Obama terikat pada kesepakatan perjanjian yang mengikat secara hukum sudah tercakup dalam kesepakatan sebelumnya (seperti UNFCCC) yang telah disetujui oleh Senat dan oleh karenanya, tidak memerlukan persetujuan ulang. INDCs adalah sasaran yang tidak mengikat dan sebagai target aspirasi, sehingga seperti yang ditafsirkan oleh pemerintahan Obama, bahwa dalam perjanjian ini Pemeritah Obama tidak memerlukan persetujuan Kongres.[44]
Sementara Climate Initiatives Obama telah disambut oleh para pemerhati lingkungan, pemahaman mereka telah diserang oleh kaum konservatif. Senator Republik James Inhofe, Ketua Komite Lingkungan dan Pekerjaan Senat, yang terkenal karena skeptisasinya terhadap iklim, telah menantang posisi pemerintahan Obama yang menyatakan dalam siaran pers: "Meskipun ada upaya desentralisasi berujuan untuk menunjukkan kesepakatan internasional Tentang perubahan iklim, pengumuman kesepakatan iklim akhir dari Paris tidak lebih penting lagi bagi AS daripada pengumuman Protokol Kyoto 18 tahun yang lalu .... Perjanjian ini tidak lebih mengikat daripada kesepakatan apapun dari setiap Konferensi Para Pihak. Selama 21 tahun terakhir ".[45]
Selain inisiatif iklim Obama, perlu dicatat bahwa beberapa pengurangan emisi disebabkan oleh perubahan dalam campuran bahan bakar. Undang-undang Kebijakan Energi 2005, sebuah pencapaian tanda tangan Wakil Presiden Dick Cheney, mengurangi pembatasan ekstraksi bahan bakar fosil di lahan federal. Salah satu konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah mereda sehingga memungkinkan pengeboran minyak dan gas tidak konvensional, yang juga dikenal sebagai fracking. Dengan demikian, sementara emisi gas rumah kaca AS meningkat sampai 2007, sejak itu mereka menolak secara dra-matically. Emisi pada tahun 2013 adalah 5,9 persen lebih tinggi dari tingkat tahun 1990, jauh lebih rendah dari pada puncaknya di tahun 2007 ketika mereka 17 persen lebih tinggi (EPA, 2015b). Namun, pengurangan emisi ini seharusnya tidak dianggap berkelanjutan karena pada akhirnya, gas alam yang berfungsi kembali ini akan habis.[46]
Apabila dilihat melalui kaca mata teori green politics, Pemerintahan Obama tidak melihat dunia tidak semata-mata antroposentris dimana manusia memegang peranan utama dalam setiap kegiatan di bumi, melainkan cenderun eksosentris. Pemerintahan Obama juga melihat bahwa Amerika Serikat dengan struktur sosial, ekonomi, budaya, dan politiknya telah memberikan kontribusi bagi perubahan iklim dan ketidakseimbangan lingkungan. Hal ini memberikan dorongan bagi Pemerintahan Obama untuk terlibat aktif dalam beragam kampanye pencegahan perubahan iklim.
Pada dasarnya teori ini tidak hanya melihat bagaimana masyarakat global menyebabkan tingginya masalah lingkungan yang tidak terjadi di satu tempat saja. Melainkan, teori ini juga memberikan pemikiran tentang penghijauan, pemanasan global, dan termasuk di dalamnya HAM serta keadilan. Sehingga, dengan melihat kasus dengan teori green politics ini kita dapat melihat adanya keterkaitan antara hak hidup masyarakat masa depan dengan kerusakan lingkungan yang terajadi saat ini. Amerika Serikat pada saat itu memiliki kecenderungan untuk melindungi lingukungan yang bertujuan tidak hanya untuk perekonomiannya melainkan untuk keselamatan umat manusia di masa depan.
Menurut Eckersley, dalam mewujudkan ekosentrisme dibutuhkan bentuk struktur politik global yang baru, dalam rangka melawan struktur sistem internasional saat ini yang bersifat saling bergantung dalam segala aspek.[47] Maka dari itu, Pemerintahan Obama melawan struktur system dalam Senat yang dipenuhi oleh perwakilah Partai Republik dengan kecenderungan tidak peduli terhadap perubahan iklim.
Green politics berasumsi bahwa untuk menyiasati perubahan iklim diperlukan adanya pendekatan global dengan tujuan pembentukan mekanisme yang mengatur respon terhadap permasalahan lingkungan regional dan global.[48] Amerika Serikat pada pemerintahan Obama cenderung konsen terhadap perubahan iklim termasuk dalam perundingan di tatanan global. Karena dengan demikian, permasalahan global ini dapat diselesaikan sesuai dengan harapan.
Kesimpulan
Perjanjian Paris menandai dimulainya fase baru dalam upaya internasional untuk mempromosikan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Amerika Serikat dalam masa pemerintahan Obama cenderung concern terhadap perubahan iklim karena Amerika Serikat telah banyak mendapat dampat dari adanya perubahan iklim. Obama beranggapan bahwa Amerika Serikat memiliki kontribusi terhadap perubahan iklim dan dampak buruk yang terjadi di bumi, hal ini dikarenakan Amerika Serikat termasuk Negara penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua seletah Tiongkok. Dalam kasus ini, teori green politicsi dan konsep kebijakan luar negeri dapat menggambarkan bahwa Amerika Serikat di bawah pemerintaha Obama banyak mengeluarkan kebijakan domestic maupun luar negeri dalam aspek lingkungan dan perlindungan serta pencegahan terhadap perubahan iklim.
*Saya meniadakan informasi referensi untuk menghindari plagiasi*
0 comments:
Posting Komentar