Latar Belakang Masalah
Hampir 7 dekade Amerika Serikat membantu keamanan global baik di darat, laut, udara maupun luar angkasa atas dasar kekuatan yang dimilikinya secara global.[1] Namun, kekuatan yang dimiliki Amerika Serikat justru dihadapkan pada tantangan yang semakin besar terkait kasus terorisme. Usaha yang dilakukan untuk menangani tantangan ini cukup beragam mulai dari pengadaan pasukan khusus, menambah anggaran militer, sistematika operasi militer yang diperkuat, sampai dengan pembentukan aliansi di kawasan.[2]
Hal ini dilakukan untuk mereduksi ancaman yang berasal dari serangan kelompok terorisme, termasuk memerangi kekuatan ISIS yang mengganggu stabilitas politik dan kawasan Timur Tengah, bahkan dunia. Sehingga, Pada akhir April 2017, Menteri-Menteri dari 68 negara berkumpul di Washington untuk menyetujui langkah-langkah mengalahkan Islamic State dipimpin oleh Amerika Serikat.[3]
Pembentukan Koalisi anti ISIS yang dipimpin Amerika Serikat beranggapan bahwa konflik Suriah sudah sangat meresahkan komunitas dunia. Sejak Maret 2011, sebanyak 2,7 juta warga Suriah – atau sekitar 10 persen dari total populasi di negara tersebut – sudah mengungsi ke negara-negara tetangganya.[4] Pada akhir tahun 2014, jumlah pengungsi Suriah diperkirakan akan mencapai 4,1 juta jiwa.
Selama upaya ‘pembasmian’ ISIS, Turki selaku aliansi Amerika Serikat dalam NATO memiliki sikap kontradiktif terhadap koalisi yang dibentuk Amerika Serikat.[5] Bukan berarti Turki pro terhadap ISIS, melainkan Turki sendiri sedang menghadapi konflik yang saling berkait, yaitu operasi militer di Suriah yang sebagian besar diperuntukan menjaga keamanan nasional Turki.
Keterkaitan antara konflik Suriah dan keamanan domestik Turki menggerakkan perpolitikan yang tidak stabil.[6] Selain itu, keengganan Turki bergabung dengan koalisi anti ISIS juga dikarenakan Koalisi yang dipimpin Amerika Serikat terindikasi melakukan kerjasama dengan kelompok yang dianggap Turki sebagai kelompok pemberontak.[7] Amerika Serikat perlu mempertimbangkan kembali dampak dari intervensi koalisi anti ISIS di Suriah terhadap Turki, dan aliansinya dalam NATO.
Pada makalah ini, pemakalah hendak mengaitkan judul “Pengaruh Koalisi Anti ISIS Pimpinan Amerika Serikat Terhadap Kebijakan Turki dalam Konflik Suriah 2017” dalam tema “Amerika dan Koalisi anti-ISIS: Implikasinya terdahap perang Suriah.” Dengan demikian, makalah ini akan melihat implikasi terhadap perang Suriah dari gambaran Kebijakan yang dibuat Turki terhadap konflik Suriah dipengaruhi oleh Koalisi anti ISIS pimpinan Amerika Serikat. Karena pemakalah melihat kebijakan Turki terhadap konflik Suriah yang dipengaruhi koalisi anti ISIS pimpinan Amerika Serikat langsung atau tidak, nantinya akan berimplikasi pada konflik Suriah itu sendiri.
Kerangka Teori
Dalam makalah ini, pemakalah mencoba menganalisa kasus menggunakan teori realisme neoklasik. Teori ini dianggap pemakalah mampu menjelaskan sikap dan respon Turki terhadap koalisi anti ISIS yang dipimpin Amerika Serikat.
Neoclassical realism (realisme neoklasik) merupakan salah satu varian dari pandangan realisme dalam hubungan internasional. Konsep realisme neoklasik ini muncul atas pemikiran dari Hans J. Morgenthau dalam bukunya yaitu Politics Among Nations. Morgenthau berbicara animus nomandi, manusia “haus” dalam kekuasaan.[8] Pemikiran tentang realisme neoklasik juga muncul dari Randall Schweller. Schweller menanggapi pandangan realisme struktural dalam distribution of power, Ia berpendapat bahwa semua negara mempunyai kepentingan dalam hasil keamanan yang menunjukkan dasar status quo.[9]
Pendapat lain tentang realisme neoklasik juga datang dari Fareed Zakaria. Ia memperkenalkan variabel antara kekuatan negara menjadi teori negara yang berpusat pada realisme.[10] Pendapat dari kedua orang tersebut isinya mengkritik terhadap apa yang diungkapkan oleh realisme struktural. Mereka menambahkan beberapa poin-poin penting untuk melengkapi dan menambahkan tentang konsep yang digagas oleh realisme struktural.[11]
Gideon Rose mengatakan bahwa kebijakan luar negeri dianggap tidak memiliki signifikansi oleh kaum realist[12]. Sehingga, realisme neoklalsik menawarkan kerangka pemikiran dengan gambaran yang tepat terhadap setiap kebijakan luar negeri negara bisa diperoleh.[13] Bagi realisme neoklasik, sebuah kebijakan luar negeri negara diutamakan untuk menggerakkan posisi negara dalam struktur internasional dan juga kekuasaannya yang relatif. Bagaimanapun, mereka melihat sistem seperti pandangan realis pada umumnya, yaitu sebagai variabel dependen dan beresebrangan dengan neoealis yang melihat negara bersifat independen.
Realis neoklasik berbeda dengan asumsi realis yang menekankan pada sistem yang diterjemahkan sebagai unit-unit. Realis neoklasik menawakan rangkaian penjelasan yang lebih jekas antara kekuasaan relatif negara dalam sistem anarki. Variabel level domestik ditekankn pada sistem dan hasil dari kebijakan luar negerinya.[14] Variabel level domestik merupakan bagian penting dalam rangkaian sistem internasional. Wohlforth mengilustrasikan bahwa persepsi antara Amerika Serikat dan Uni Soviet selama perang dingin menginterpretasikan kapabilitas nyata yang mereka miliki dimana keduanya dipimpin negara besar dengan berbeda cara.[15]
Pada dasarnya, realisme neoklasik fokus pada kebijakan luar negeri yang dapat membengaruhi struktur global. Kemudian, realisme neoklasik ini melihat pentingnya kekuasaan relatif sebuah negara dalam membentuk intention-nya. Dengan kata lain, tidak ada istilah state is the black box, yang ada hanyalah open up the black box.
Koalisi Anti-ISIS Pimpinan Amerika Serikat
Pada 2014, Presiden Obama mengumumkan pembentukan koalisi global dalam mengalahkan Islamic State (dikenal dengan nama ISIS atau Daesh).[16] Koalisi ini memiliki lima “lines of effort” dalam pelaksanaannya, yaitu mendukung operasi militer, capacity building, dan peatihan militer yang dipimpin oleh Amerika Serikat dan Irak. Kemudian, koalisi ini berusaha untuk memberhentikan arus pejuang teroris dari negara lain dan usaha ini dipimpin oleh Belanda dan Turki. Selanjutnya, koalisi ini juga berusaha memotong pendanaan teroris, dipimpin oleh Itali, Arab Saudi dan Amerika Serikat. Lalu, menyelesaikan krisis humaniter dalam konflik yang dipimpin Jerman dan Uni Emirate Arab serta menghapuskan akar Islamic State yang dipimpin oleh Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat merupakan tujuan lainnya dalam pembentukan koalisi ini.[17]
Landasan hukum yang berlaku dalam koalisi ini diantaranya Resolusi Dewan keamanan PBB 2170, 2178, dan 2199, mengajak seluruh negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk terlibat dalam beragam aksi yang terdapat dalam tujuan koalisi pimpinan Amerika Serikat. Berdasarkan hadirnya kontribusi kampanye militer Amerika Serikat, beberapa observer berpendapat bahwa otoritasasi baru bagi penggunaan tekanan miiter (AUMF) diperbolehkan.[18] Departemen Pertahanan Amerika Serikat menyebutkan bahwa pada 28 Juni 2016, Koalisi telah melakukan 13,470 serangan; 9099 ke Irak dan sisanya ke Suriah.[19]
Koalisi anti IS pimpinan Amerika Serikat merupakan koalisi 66 negara di dunia dengan tujuan melumpuhkan IS yang sudah meresahkan komunitas internasonal.[20] Setiap negara yang berkontribusi dalam koalisi ini memiliki kepentingan nasional dan comparative advantage yang diprediksi dapat dicapai apabila konflik ini dapat diselesaikan.[21] Kontribusi terdiri dari bantuan militer dan non-militer. Bantuan nin-militer cenderung bersifat sporadis, banyak negara yang mendonasikan bantuan kemanusiaan secara langsung ke pemerintah lokal. Misalnya, Switzerland mendonasikan $9 juta bantuan ke Irak.[22]
Pada februari 2016, Menteri Luar Negeri Carter menyampaikan kekecewaan pada anggota koalisi militer yang sudah terbangun, Ia merasa bahwa koalisi militer ini tidak berjalan maksimal untuk melawan IS.[23] Meskipun koalisi tersebut telah banyak melakukan pencapaian dalam ‘menggempur’ pertahanan IS, namun masih terdapat permasalahan internal dalam koalisi itu sendiri. Salah satu permasalahannya yaitu, keengganan Turki untuk maksimal dalam membantu koalisi ini.[24] Sejak 2015, Turki mempersilakan Amerika Serikat dan anggota koalisi anti ISIS lain menggunakan fasilittas militer Turki dan base untuk melancarkan serangan ke IS di Irak dan Suriah. Namun, sejak berpartisipasinya Turki dalam koalisi, banyak rumor menyebutkan apabila pimpinan tinggi Turki memiliki hubungan dengan ISIS.[25] Selain itu, konflik perbatasan Turki Selatan dan banyaknya serangan teroris pada 2015 di Istanbul, Ankara, dan tempat lain menimbulkan kekhawatiran Pemerintah Turki tentang IS dan kelompok pemberontak (Kudistan Workers’ Part/PKK).[26]
Konflik Suriah merupakan konflik yang kompleks dan sulit untuk diselesaikan. Banyaknya aktor yang terkait dalam kasus ini termasuk bagaimana kepentingan negara-negara terlibat berbenturan dengan kepentingan negara lain. Misalnya, kepentingan Turki, di dalam negeri dan di Suriah, telah mempersulit usaha A.S. untuk mengalahkan Negeri Islam.[27] Pada hari-hari pembukaan perang udara pimpinan A.S. pada bulan Agustus 2014, IS memulai usaha bersama untuk mengendalikan Kobani, sebuah kota berpenduduk Kurdi di perbatasan Suriah-Turki di bawah kendali PYD. Amerika Serikat mendedikasikan sumber daya yang cukup untuk mempertahankan kota, termasuk melalui ratusan serangan udara dan serangkaian senjata dan amunisi untuk mempersenjatai YPG. Tetapi, Erdogan menentang tawaran tersebut karena kekhawatiran bahwa mempersenjatai langsung afiliasi PKK akan menjadi ‘bumerang’ bagi kepentingan keamanan jangka panjang Turki.
Analisis: Turki dan Konflik Suriah
Turki menghadapi konflik pelik dan saling terkait, yang salah satunya adalah operasi militer di Suriah dengan sebagian ditujukan untuk menghalau pemberontakan yang berada di perbatasan.[28] Keterkaitan antara konflik Suriah dan keamanan domestik Turki menggerakkan instabilitas politik internal.[29] Hal ini juga akan berakibat pada hubungan A.S.-Turki dan tujuan kebijakan A.S. di Suriah yang kemudian menciptakan implikasi pada konflik Suriah itu sendiri. Namun, keengganan Ankara untuk melibatkan IS secara militer dapat dimengerti dan dipahami berdasarkan analisis realisme neoklasik.
Ankara memperbolehkan koalisi Anti-ISIS yang dipimpin Amerika Serikat menggunakan Incirlik airbase untuk memborbardir kelompok-kelompok oposisi di perbatasan. Konflik semakin runcing setelah pada Agustus 2016, pasukan Turki menyerang suriah untu melakukan “operation Euphrates shieldi” yang tidak hanya ditujukan untuk melawan kelompok pemberntak di wilayah Kurdi, Suriah Utara, melainkan juga ditujukan untuk menggempur pertahanan IS di Suriah.[30]
The Guardian edisi 2 September 2016 menyebut perilaku ofensif Turki ke Suriah belakangan ini semakin menguatkan pandangan bahwa semua pihak yang berkepentingan di Suriah hanya berperang demi kepentingannya sendiri, bukan demi rakyat Suriah. Faktanya, Turki memang lebih mengkhawatirkan Kurdi, ketimbang siapa pun di Suriah, termasuk ISIS dan rezim Assad.[31]
Menurut Institute for Islamic Strategic Affairs, sejak awal konflik Suriah, kebijakan luar negeri Turki di Suriah berpilar kepada tiga hal, yakni melindungi perbatasan dan kedaulatan Turki, mengendalikan situasi keamanan internal sehingga tak mengancam Turki, dan menggulingkan Assad dengan mendukung rezim yang menguntungkan Turki di Suriah.[32] Turki memandang sepanjang IS tak menyerang langsung mereka, tak ada alasan bagi Turki untuk menambah musuh selain rezim Assad yang juga berusaha digulingkan Uni Emirat Arab, Saudi, Qatar dan kebanyakan negara Arab Sunni.
Situasi berubah manakala IS membuka konfrontasi langsung dengan Turki lewat serangan bom bunuh diri di tanah Turki. Permusuhan Turki dengan IS juga mulai meningkat sejak Turki secara resmi mendeklalrasikan Perang terhadap IS pada pertengahan 2015.[33] Turki juga menjadi terlecut setelah AS aktif memperkuat kelompok Kurdi Suriah yang sangat instrumental dalam memukul ISIS di Suriah. Turki menjadi kian khawatir karena rangkaian sukses Kurdi di Suriah dan juga Irak, akan memperkuat aspirasi separatisme warga Kurdi di Turki.[34]
Berdasarkan hal tersebut, kebijakan Turki terhadap Suriah mengacu pada strategi dua kaki yaitu menjatuhkan Bashar Assad adalah harga mati. Penguasa yang membunuh dan menelantarkan rakyatnya sendiri, secara etis dan hukum, tidak layak lagi menjadi pemimpi. Itulah sebabnya Turki memfasilitasi kelompok oposisi sekuler Suriah untuk bermarkas di Istanbul; Apapun solusi yang akhirnya disepakati di Suriah, tidak boleh memberi ruang kepada faksi Kurdi untuk memiliki basis yang kuat di wilayah Suriah. Sebab secara jangka panjang, itu akan mengancam keamanan nasional Turki. Hal ini pula yang kemudian menjadi analisis bahwa variabel dometik Turki dalam hal ini pemberontak yang merupakan variabel domestik yang mempengaruhi internasional.
Ketika pemberontakan di Suriah terjadi dan usulan Turki kepada pemerintah Suriah di tolak, Turki hanya mempunyai pilihan lain, apakah tetap mendukung Presiden Assad atau kah mendukung oposisinya. Karena Turki ingin dilihat serius perannya di wilayah Timur Tengah ini, maka lebih memilih untuk berada di pihak oposisi. Menghancurkan hubungan diplomasi dengan Suriah artinya kebijakan zero problems tidak dapat dijalankan lagi tanpa tergantinya rejim pemerintahan Suriah.[35]
Keberadaan Kurdish dalam kondisi pemberontakan yang ada di Suriah juga menambah pelik permasalahan baik pemberontakan yang sedang berlangsung, maupun hubungan Turki dan Suriah.[36] Setelah AS dan Barat menjadi lebih terobsesi menghancurkan ISIS, bukan lagi fokus menggulingkan Assad yang disebut Turki sebagai sumber masalah Suriah, Turki kini menempuh jalan lebih pragmatis "berbaikkan" dengan Assad dan Rusia yang sama-sama melihat Kurdi ancaman utama mereka karena selain Front Nusra yang disebut Barat teroris namun diam-diam mendapat simpati Arab Sunni dan Turki, pejuang Kurdi adalah lawan paling tangguh baik bagi ISIS maupun rezim Assad.[37]
Berdasarkan analisis realisme neoklasik, kebijakan luar negeri memiliki signifikansi untuk menggerakkan posisi negara dalam struktur internasional. Turki dalam hal ini berusaha untuk melindungi kepentingan nasionalnya dan mempertahankan posisi negaranya dalam struktur internasional. Hal ini titujukan dengan keengganan Turki bergabung dalam koalisi anti-ISIS pimpinan Amerika Serikat setelah Amerika Serikat mengajak kelompok Kurdi di Suriah Utara. Kebijakan luar negeri Turki cenderung berseberangan posisinya sebagai aliansi Amerika Serikat dan NATO.
Turki memiliki kekhawatiran akan kelompok pemberontak yang berada di kawasan Kurdi. Namun, Washington tidak menganggap mereka sebagai kelompok teror, sebaliknya, A.S. telah secara aktif bekerja sama dengan mereka dalam perang melawan ISIS di Suriah. Pasukan A.S. terlihat pada tanggal 29 April dikirim ke Suriah utara, menampilkan bendera Amerika di kendaraan lapis baja mereka untuk menyoroti kehadiran pasukan Amerika yang terlihat setelah kebakaran lintas batas antara militer Turki dan YPG bulan lalu.
Intervensi militer Turki memiliki dampak penting pada perang sipil Suriah. Seperti yang dilaporkan oleh pers pro-pemerintah, tujuan dari intervensi tersebut adalah untuk menciptakan zona aman (atau "zona penyangga") di daerah yang menghubungkan kanton Kobani dan Afrin, di sebelah utara Aleppo, antara kota-kota Jarablus dan Azaz (Di beberapa sumber - antara Karkamis dan Oncupinar).[38] Tujuan resmi adalah pembentukan zona aman bagi pengungsi dan oposisi Suriah. Namun, tidak hanya ISIS yang akan dijadikan sasaran di sana, tapi juga orang Kurdi. Untuk mengintervensi dan membuat zona aman, Turki berencana untuk menggunakan Komando Pasukan Khususnya, Brigade Lapis Baja ke 5 di Gaziantep, Brigade Lapis Baja ke-20 di Urfa dan Angkatan Udara Taktis ke-2 di Diyarbakir, yang akan menjadi ujung tombak operasi Suriah.
Ambisi Turki untuk menjadi "negara pusat" dan secara aktif terlibat di wilayah tersebut menyebabkan keterkaitan dalam krisis Suriah. Setelah dimulainya kampanye anti-teror yang aktif, posisi kaku Turki dalam konflik bahkan lebih terlihat. Sejak awal perang saudara Suriah, Turki mengejar gagasan tentang zona penyangga/tidak-terbang/aman untuk melindungi warga sipil dan mendukung pemberontak anti-Assad.
Namun, saat ini dalam kampanye anti-teror tidak hanya jawaban atas ancaman yang terlihat tapi juga ambisi partai AKP untuk mendapatkan lebih banyak dukungan dalam pemilihan cepat yang mungkin terjadi. Turki bertujuan tidak hanya untuk melawan ISIS tapi juga mengganggu konsolidasi Suriah Wilayah Kurdi Pembentukan zona penyangga akan membantu mencapainya Bertujuan dan juga cenderung membantu mengatasi krisis kemanusiaan.
Kesimpulan
Kesimpulan dari makalah ini adalah Pemerintah Turki terlihat dan terkesan tidak mempriortaskan perlawanan terhadap IS, melainkan sangat jelas terlihat kepentingan domestiknya untuk melindungi perbatasannya dari pemberontak. Kegagalan Ankara ini menyebabkan tidka hanya menyebabkan Turki berpotensi untuk mudah diserang oleh aksi teror, tetapi juga hubungan dengan Amerika Serikat yang semakin tegang.
Respon ‘sinis’ Turki terhadap kerjasama Koalisi anti ISIS pimpinan Amerika Serikat kemudian membawa implikasi berupa manuver kebijakan yang berfokus tidak hanya pada perlawanan terhadap IS. Hal ini tentu saja berimplikasi terhadap konflik Suriah dimana Turki akan menerapkan kebijakan-kebijakan ‘berlainan’ dengan koalisi anti ISIS pimpinan Amerika Serikat karena dirasa tidak sesuai dengan kepentingan Turki. Realisme neoklasik melihat bahwa faktor domestik Turki dapat mempengaruhi situasi internasional.
*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*
*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*
0 comments:
Posting Komentar