Pendahuluan
Laos merupakan landlocked country dengan luas wilayah sebesar 236,800 kilometer, dari 17 provinsi 2/3 wilayah Laos merupakan pegunungan, terutama di bagian utara. Keadaan geografis ini menyebabkan adanya kesulitan dalam melakukan pengembangan ekonomi, sosial, infrastruktur, transportasi, dan jaringan komunikasi (Phimphanthavong 2012). Namun, keterbatasan-keterbatasan ini tidak membuat pemerintah Laos berdiam diri. Laos dikenal sebagai salah satu dari lima negara di dunia yang masih mempertahankan sistem komunis. Sebagai negara komunis dengan sistem partai tunggal, Laos menganut sistem pasar terbuka sejak 1986 yang dikenal dengan New Economic Mechanism (NEM) serta bergabungnya Laos dengan AFTA pada 1997dan WTO pada 2013.
Pemerintah Laos melakukan beragam usaha untuk menyejahterakan masyarakat dengan salah satu tujuannya yaitu untuk mengentaskan kemiskinan. Keikutsertaan Laos dalam beragam organisasi perdagangan menunjukkan progresivitas pemerintah dalam mendukung liberalisasi perdagangan. Hal ini pula sesuai dengan 8th National Socio-Economic Development Plan (NSEDP) 2016-2020. Seperti dua mata piasu, liberalisasi perdagangan yang dilakukan Laos memiliki dampak positif dan negatif serta implikasi langsung ataupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial-ekonomi maysarakatnya. (Bounthone, 2011)
Liberalisasi Ekonomi dan Ekonomi Liberal
Liberalisasi Ekonomi merupakan jalan menuju tatanan Ekonomi Liberal. Dalam pelaksanaannya, ekonomi liberal yang berbentuk model pasar memiliki konsekwensi logis yaitu interaksi penawaran dan permintaan di dalamnya bisa diprediksi –secara logika. Pertama, pemanfaatan penuh seluruh sumber daya dan produksi. Kedua, kecenderungan untuk mengurangi keuntungan dengan harga kompetitif. Ketiga, memaksimalisasi alokasi sumber daya (alam, manusia, modal) yang ada. Milton Friedman (1912-2006) berpendapat bahwa konsekwensi model pasar yang ada hanya bisa dilakukan dalam keadaan bebas dan dalam keadaan masyarakat demokratis. (O’Keohane, 1989)
Namun, tidak seperti apa yang dikatakan Milton Friedman tentang perlunya kebebasan dan masyarakat demokratis, John Maynard Keynes mengatakan bahwa perekonomian pasar merupakan keuntungan, tetapi juga diikuti dengan keburukan potensial atas, “bahaya ketidakpastian dan kebodohan.” Berdasarkan alasan ini Keynes berpendapat bahwa situasi ini dapat diperbaiki melalui manajemen publik yang lebih baik dengan diatur oleh negara.(Jackson & Sorensen, 2009)
Liberalisasi Ekonomi Laos
Laos berkeinginan untuk membebaskan diri dari status Negara Kurang Berkembang (Least Development Country/LDC) pada tahun 2020. Laostelah membuka pintu untuk investor asing dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara cepat. Hal ini terlihat dari banyaknya pembangunan di berbagai aspek dan masuknya produk-produk asing. Dalam National Social-Economic Development Plan (NSEDP) ke-7 periode 2011-2015, Pemerintah Laos menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 8%. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dana sebesar US$ 15.81 miliar yang sumbernya didapatkan dari 12% anggaran pemerintah, 26% Official Development Assistance (ODA) dan 56% investasi asing (FDI).
Bagaimanapun juga, Laos harus memenuhi kretaria yang sudah ditetapkan oleh PBB apabila hendak lepas dari status Least Development Countries (LDC) pada 2020. Kriteria tersebut terdiri dari ketetapan Gross National Income (GNI) lebih dari US$2000, Human Assets Index (HAI) sebesar 66 persen atau lebih, dan Economic Vulnerability Index (EVI).Laos saat ini belum mencapai ketiga kriteria tersebut, GNI, HAI, dan EVI Laos belum mencapai syarat ketentuan. HAI merupakan gabungan dari presentasi populasi masyarakat kekurangan gizi, kematian anak di bawah usia 5 tahun, rasio anak berpendidikan rendah, dan Adult Literacy Rate. Sedangkan data yang ditampilkan pada laporan pemerintah tidak sesuai dengan kenyataan lapangan yang dipaparkan oleh salah seorang petugas UNDP di pedalaman salah satu Provinsi di Laos. EVI Laos juga belum mencukupi kriteria yang termasuk di dalamnya jumlah populasi, akses wilayah, dan struktur ekonomi yang dilihat dari aspek tertentu. Hal ini menjadi fokus pemerintah untuk terus meningkatkan perekonomian sehingga dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut.
Laos memang memiliki peningkatan perekonomian dari berbagai sektor yang tercatat dalam 8th Five-Year National Socio-Economic Development Plan (2016-2020) Kementerian Perencanaan dan Investasi. Dalam proses liberalisasi ekonomi, tentu saja Laos memiliki potensi untuk mencapai target lepas dari predikat LDC pada 2020.Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan yang ada belum mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sehingga, pembangunan yang diharapkan belum berjalan sesuai harapan.
Description 7th NSEDP targets
Actual 2010-11 Actual 2011-12 Actual 2012-13 Actual 2013-14 Actual 2014-15
GDP growth (%) 104,000 62,458 70,343 80,199 90,823 102,320
Agriculture Forestry (%) 23.0 27.9 26.7 25.2 24.8 23.7
Industry (%) 39.0 26.9 29.6 28.2 27.5 29.1
Services (%) 38.0 45.2 43.7 46.8 47.7 47.2
Dari data yang ditampilkan di atas, bisa dilihat bahwa sektor jasa semakin meningkat. Hal ini menunjukan bahwa Laos seharusnya dapat lebih terbuka dengan berpindah dari simple economies (agrikultur), menuju complex economy (industri/jasa). Liberalisasi ekonomi yang dilakukan Pemerintah Laos sudah memberikan ‘angin segar’ bagi perekonomian dalam maupun luar negeri. Namun, terdapat keburukan potensial dari liberalisasi ekonomi yang ‘membayangi’ perekonomian Laos itu sendiri. Menurut saya, Laos belum merasakan secara penuh konsekuensi liberalisasi ekonomi yang dimaksudkan Friedman. Bukan karena Laos tidak demokratis, melainkan Pemerintah Laos tidak dapat melakukan perbaikan melalui manajemen publik seperti yang dikonsepkan Keynes.
Pertumbuhan produktivitas di Laos dibatasi oleh beragam faktor seperti, sumber daya manusia, kurangnya infrastruktur, dan lain-lain (Sewraj, 2007). Berdasarkan hasil temuan di lapangan, negara ini hanya menunjukan sedikit perhatiannya pada layanan publik, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, air, sanitasi, dan sistem peradilan yang efektif. Apalagi ada temuan ‘kecacatan’ pada tubuh birokrasi yang tidak dapat ditindak tegas akibat sistem cenderung melindungi pemerintah. Proyek investasi di Laos menghancurkan lingkungan, yang merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat dan pedesaan dan sumber utama makanan bagi mereka. Ketidakcukupan pangan, korupsi, ketidakmerataan dan kesulitan migrasi semakin bertambah, dan hidup menjadi semakin sulit bagi masyarakat umum.
Kerjasama Ekonomi Laos – Indonesia
Dalam rangka melepaskan diri dari status LDC pada 2020, Laos telah meliberalisasi pasar dan banyak melakukan kerjasama ekonomi dengan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno L Marsudi melakukan kunjungan kehormatan kepada Perdana Menteri Laos Thongsing Tammavong di Vientiane pada 27 Januari 2017. Pada pertemuan tersebut, Kedua Perwakilan Negara membahas beberapa isu bilateral, antara lain penguatan kerja sama perdagangan dan investasi, perlindungan pekerja migran, dan hubungan antarmasyarakat.
Indonesia dan Laos telah menjalin hubungan diplomatik selama hampir enam dekade, sejak 30 Agustus 1957. Kerja sama perdagangan antara Indonesia dan Laos sejauh ini masih sangat terbatas. Nilai perdagangan bilateral pada 2015 hanya mencapai 7,71 juta dolar AS, dengan surplus bagi Indonesia.Selain itu, hubungan perdagangan juga sebagian dilakukan melalui pihak ketiga.Untuk itu, kedua negara berupaya mencari cara agar perdagangan bilateral dapat ditingkatkan di masa mendatang, antara lain melalui promosi perdagangan.Kedua negara memiliki hubungan perdagangan dengan total nilai perdagangan pada 2014 mencapai US$55,80 juta.
Komoditi ekspor utama Indonesia ke Laos, antara lain alat-alat dan aksesoris kendaraan, elektronik dan pakaian jadi. Sementara itu, impor Indonesia dari Laos mencakup tembakau, kopi, dan aluminium. Selain itu, investasi Indonesia di Laos pada 2014 mencapai US$1,1 juta.Di bidang kerja sama teknis, selama 10 tahun terakhir (2004-2014) terdapat 188 peserta dari Laos yang mengikuti 89 kegiatan program kerja sama teknis di Indonesia dalam skema kerja sama triangular, seperti pelatihan di bidang tata kelola pemerintahan yang baik, UKM dan pariwisata. (Media Indonesia, 2016)
Laos juga merupakan salah satu negara yang telah menerima program beasiswa Indonesia. Sebanyak 13 orang peserta dari Laos telah mengikuti skema program beasiswa seni dan budaya untuk periode 2003-2015, dan sebanyak 61 orang peserta juga telah bergabung dalam program darmasiswa untuk periode 1974-2015. (Antara News, 2016) Dengan segala kerjasama antardua negara ini, Laos juga akan semakin memiliki ‘bekal’untuk mencapai kelulusan dan terlepas dari status LDC pada 2020. Sejauh ini, Pengusaha Indonesia masih sulit untuk masuk ke pasar Laos dikarenakan beberapa faktor, yaitu salah satu faktornya adalah sulitnya akses masuk seperti tidak adanya penerbangan langsung sehingga harus melewati beberapa perbatasan darat negara tetangga.
Kesimpulan dan Saran
Laos memiliki potensi untuk mencapai target terbebas dari predikat LDC pada 2020. Namun apabila melihat situasi dan kondisi di lapangan, masih terjadi kesenjangan dan tidak ada usaha nyata pemerintah untuk memperbaiki birokrasi yang ada.Perbaikan dan fokus yang dikerjakan hanya pada sektor tertentu, bukan pada sektor pembangunan sumber daya manusia yang seharusnya diprioritaskan.Apabila diperhatikan dengan saksama,strategi pemerintah dalam melakukan liberalisasi ekonomi tidak hanya memiliki dampak positif melainkan membawa dampak negatif.Strategi pemerintah yang agresif untukmendatangkan para investor asing dan tidak tepat sasaran. Menurut saya, hal ini bisa membahayakan kehidupan sosial, lingkungan hidup, danekonomi Laos sendiri, terlebih lagi bagi tempat-tempat yang akan digantikan oleh konsensilahan ekonomi, bendungan-bendungan, dan berbagai mega proyek lainnya.
Laos dengan sistem komunis yang mereka anut, seharusnya dapat menghantarkan masyarakatnya menuju kemakmuran karena Pemerintah lebih leluasa mengatur segala aspek kehidupan masyarakat. Jadi, liberalisasi ekonomi hanya akan berhasil apabila pemerintah berani untuk memperbaiki sistem manajemen publik dan mempertegas pelaksanaan hukum dan birokrasi. Investor asing tentunya melihat situasi dan stabilitas perpolitikan ketika hendak menanamkan modalnya di Laos, maka hendaknya birokrat dan pemerintash Laos memperbaiki sistem birokrasi yang ada demi tercapainya cita-cita terlepas dari status LDC pada 2020. Apabila dalam kurun waktu 4 tahun pemerintah tidak dapat menyediakan layanan publik dan sistem birokrasi yang baik, menurut saya Laos akan sulit lepas dari status LDC pada 2020.
*Sumber disembunyikan agar tidak ada praktik plagiarisme*