Selasa, 27 November 2018

QnA Mahasiswa Hubungan Internasional



Saya seringkali ditanya tentang jurusan saya selama kuliah, apalagi di lingkungan saya yang jauh dari institusi pendidikan tinggi, entah itu jauh jarak maupun akses informasi. Hubungan Internasional (HI) menjadi jurusan yang sangat asing, termasuk bagi saya sendiri ketika sedang riset universitas saat tahun terakhir SMA. Jadi, sembari merayakan kelulusan saya hari ini, di tulisan ini saya mau berbagi tentang seluk-beluk Jurusan Hubungan Internasional. Apa sih Hubungan Internasional? Belajarnya apa saja sih? Kira-kira harus sepintar apa ya untuk bisa lulus? Susah gak yah kuliahnya? 
Berikut saya rangkum pertanyaan yang seringkali diajukan kepada Saya. Semoga bermanfaat :)

Minggu, 03 September 2017

Cerita KKN : Asak Kawah Pasti Pacak



Desa Penyamun menjadi rumah saya selama masa pengabdian. Sebelum sampai di sana, saya sempat khawatir dengan penamaan desa yang menurut kebanyakan orang cukup unik dan sedikit menakutkan. Bahkan tak jarang orang yang memberikan peringatan ketika tahu nama desa tempat saya mengabdi. Tetapi, istilah Penyamun tidak merepresentasikan kondisi dan situasi masyarakat desa, melainkan hanya penamaan berdasarkan sejarah desa saja. Pada faktanya, masyarakat Desa Penyamun memiliki keramahan, kebaikan, dan kerukunan yang sangat berkebalikan dengan nama desa penyamun itu sendiri. Agus Malson, Kepala Desa Penyamun, dalam sambutan selamat datangnya mengatakan, “Selamat datang di Desa Penyamun, tenang saja, disini orang-orangnya tidak sama dengan nama desanya.”      
This entry was posted in

Jumat, 01 September 2017

Cerita KKN : MENGABDI BERSAMA DI ‘SARANG PENYAMUN’


Mimpi untuk Mengabdi 

Saya selalu bermimpi untuk mengabdikan diri di daerah terluar Indonesia atau setidaknya merasakan berada di pelosok negeri untuk mengabdi. Sejak menjadi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, saya mencari informasi mengenai pengabdian di luar daerah Jabodetabek. Selama proses pencarian, saya menemukan informasi bahwa setiap tahun UIN Syarif Hidayatullah Jakarta mengirimkan delegasi untuk mengabdi di pelosok negeri dalam program Kuliah Kerja Nyata (KKN) Kebangsaan.
This entry was posted in

Rabu, 26 Juli 2017

KKN Bersama Wilayah Barat Bangka Belitung 2017


Informasi Seputar KKN Bersama 

Kuliah Kerja Nyata (KKN) Wilayah Barat merupakan kegiatan intrakulikuler Perguruan Tinggi lingkup wilayah barat yang memadukan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam satu kegiatan. Dalam program ini, mahasiswa dari perguruan tinggi wilayah barat bersinergi mengembangkan soft skill, mematangkan kepribadian guna mempersiapkan diri menghadapi realitas kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, program KKN ini membantu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat serta para pemangku kepentingan dalam menyelesaikan permasalahan sendiri-sendiri.

This entry was posted in

Jumat, 16 Juni 2017

Hubungan Internal Amerika Latin Dalam Bidang Ekonomi: Alianza Bolivariana Para Los Pueblos De Nuestra America (Alba), Pacific Alliance, Dan The Andean Community



Pendahuluan

Sejak awal abad ke-21, terjadi pergeseran bentuk integrasi kawasan (regionalisme) di Amerika Latin yang ditandai nasionalisme yang kuat dan dikecualikannya negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat. Hal ini dapat dibaca sebagai bentuk kekecewaan sebagian negara di kawasan terhadap model Pan-America, khususnya model ekonomi liberal, yang diusung oleh Amerika Serikat. Tentunya, tidak semua negara di kawasan berseberangan secara ideologis dan prinsip ekonomi dengan AS.[1]

Kamis, 15 Juni 2017

Kerjasama California dan Meksiko Mengatasi Masalah Lingkungan dalam Memorandum of Understanding on Climate Change and The Environment Periode 2014-2016


Latar Belakang
Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih-guna lahan.[1] Perubahan iklim yang membawa perubahan kondisi fisik atmosfer bumi mencakup suhu dan distribusi curah hujan bisa membawa dampak buruk terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak terjadi dalam waktu singkat, melainkan dalam kurun waktu yang cukup lama.[2] Kegiatan industri tersebut lebih banyak dilakukan oleh negara-negara maju (Developed Country) atau negara-negara industri maju dan membawa dampak yang buruk bagi negara-negara yang sedang berkembang (Developing Country).
Ketika dunia sedang memperdebatkan masa depan perubahan iklim di perundingan forum internasional, banyak Negara di dunia yang sudah mengimplementasikan strategi penanggulangan dampak perubahan iklim di tataran nasional dan level lokal. Strategi ini termasuk melakukan kerjasama dengan Negara terdekat (tetangga) agar mendapatkan kesempatan untuk untuk membuat rencana regional untuk respon perubahan iklim dan keamanan energi.[3]

Minggu, 11 Juni 2017

Kebijakan Luar Negeri Amerika Serikat dalam The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) Pada Paris Climate Agreement 2015



Latar Belakang

Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil (BBF) dan kegiatan alih-guna lahan.[1] Perubahan iklim yang membawa perubahan kondisi fisik atmosfer bumi mencakup suhu dan distribusi curah hujan bisa membawa dampak buruk terhadap berbagai sektor kehidupan manusia. Perubahan fisik ini tidak terjadi dalam waktu singkat, melainkan dalam kurun waktu yang cukup lama.[2] Kegiatan industri tersebut lebih banyak dilakukan oleh negara-negara maju (Developed Country) atau negara-negara industri maju dan membawa dampak yang buruk bagi negara-negara yang sedang berkembang (Developing Country).

Kamis, 08 Juni 2017

Journal Review : Dumbaugh, K. (2011). TAIWAN-U.S. RELATIONS: DEVELOPMENTS AND POLICY IMPLICATIONS *. Current Politics and Economics of South, Southeastern, and Central Asia, 20(1), 119-157

Ringkasan Bacaan
            Hubungan resmi antara Amerika Serikat dengan pemerintah Taiwan menjadi sebuah hubungan kausalitas pada 1979. Hal tersebut bersamaan dengan pembentukan hubungan diplomatik Amerika Serikat dan Pemerintah China sebagai pemerintah tunggal dari All China. Sedangkan, hubungan tidak resmi Amerika Serikat dengan Taiwan telah terbentuk sejak dibentuknya framework the 1979 Taiwan Relations Act (P.L. 9 6-8) dan Komunike yang dilakukan Amerika Serikat dan China Daratan (Mainland). Dengan perjanjian ini, Amerika Serikat masih secara resmi melakukan hubungan dengan China Daratan (Mainland) sembari menjual senjata militer ke Taiwan serta mempererat hubungan dalam kepentingan ekonomi, politik, dan keamanan. Meskipun hubungan diplomatik yang terjadi tidak secara formal, namun Amerika Serikat masih melakukan hubungan ekonomi dan keamanan dengan Taiwan.

Sabtu, 03 Juni 2017

Pengaruh Koalisi Anti ISIS Pimpinan Amerika Serikat Terhadap Kebijakan Turki dalam Konflik Suriah 2016-2017



Latar Belakang Masalah

Hampir 7 dekade Amerika Serikat membantu keamanan global baik di darat, laut, udara maupun luar angkasa atas dasar kekuatan yang dimilikinya secara global.[1] Namun, kekuatan yang dimiliki Amerika Serikat justru dihadapkan pada tantangan yang semakin besar terkait kasus terorisme. Usaha yang dilakukan untuk menangani tantangan ini cukup beragam mulai dari pengadaan pasukan khusus, menambah anggaran militer, sistematika operasi militer yang diperkuat, sampai dengan pembentukan aliansi di kawasan.[2]

Kamis, 01 Juni 2017

Diplomasi : Politik Luar Negeri Indonesia Terhadap Serbia 2017



Pembukaan Hubungan Indonesia dengan Serbia
            Hubungan diplomatik dan kerja sama bilateral RI-Serbia yang telah berlangsung sejak 1954 terus menunjukkan perkembangan yang positif. Dalam berbagai kesempatan, RI dan Serbia terus berupaya mewujudkan komitmen peningkatan hubungan bilateral kedua negara melalui realisasi kerja sama yang konkret. Hubungan bilateral RI dan Serbia berjalan baik dan bernilai sejarah mengingat kedua negara merupakan pendiri dari Gerakan Non Blok. Pemimpin kedua negara yaitu Presiden Soekarno dan Presiden Josef Broz Tito memiliki hubungan yang sangat dekat dan akrab. Kedekatan tersebut ditunjukkan dengan kunjungan Presiden Soekarno untuk menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok tahun 1961 di Beograd.
                       
Perkembangan Hubungan Indonesia dengan Serbia
a.     Bidang Politik
Setelah pembubaran Yugoslavia, diikuti oleh Perang Bosnia 1992-1995, hubungan Bilateral menyentuh titik level paling bawah sejak Indonesia sebagai negara Muslim terbesar mengutuk kriminalisasi pemusnahan etnis berdasarkan ras dan agama menentang Muslim Bosnia yang dilakukan oleh masyarakat Serbia.
Hubungan bilateral kembali normal pada tahun 2000-an. Pada 2008, Indoensia mendukung integritas nasional Serbia dengan tidak mengakui kemerdekaan Kosovo dari Serbia. Namun, Indonesia mendorong Serbia untuk selalu melakukan cara-cara damai dalam setiap konflik dan melakukan dialog dalam menyelesaikan konflik dan masalah separatisme di Kosovo.
Dalam pertemuan Dubes RI dengan Menlu Serbia, Ivan Mrkic, pada tanggal 13 Maret 2014, dibahas berbagai capaian hubungan bilateral kedua negara, sekaligus menegaskan kembali komitmen untuk mendorong peningkatan kerja sama kontak antar masyarakat dan kalangan pengusaha. Serbia juga telah memberikan dukungan nyata terhadap pencalonan Indonesia di berbagai organisasi internasional antara lain sebagai anggota Dewan HAM periode 2015- 2017, dan anggota tidak tetap DK PBB periode 2019-2020. Mantan Menlu RI, Hassan Wirrajuda, dalam posisinya sebagai eminent member of CISED-Center of International Relations and Sustainable Development, juga berkunjung ke Belgrade pada tanggal 29 Mei-2 Juni 2014, dalam rangka menghadiri the 2nd CIRSD Conference di Belgrade.
Dalam kunjungan ini, mantan Menlu RI, Hassan Wirrajuda, juga berkesempatan untuk memberikan public lectures di salah satu lembaga think tank terkemuka di Belgrade, Institute of Politics and Economy, pada tanggal 1 Juni 2014, bertemakan Indonesia Raising. Sementara itu, sebagai upaya implementasi MoU Kerja Sama bidang Pertahanan RI-Serbia, dalam pertemuan Dubes RI-Belgrade dengan Menhan Serbia, Bratislav Gasic, pada tanggal 31 Oktober 2014, telah disampaikan sejumlah peluang kerja sama seperti kerja sama intelijen dan kerja sama kesehatan militer.

b.     Bidang Ekonomi
Dalam bidang perdagangan, nilai dagang Indonesia-Serbia pada 2004 sebesar US$15 Juta dan meningkat sampai dengan US$50 Juta pada 2008.   Pada 2012, nilai perdagangan bilateral Indonesia-Serbia terhitung sebesar US$40.9 Juta. Neraca perdagangan condong ke Indonesia, dengan US$ 33.9 Juta Indonesia ekspor ke Serbia, sedangkan ekspor dari Serbia sebesar US$7 Juta. Eskpor Indonesia ke Serbia termasuk komoditi tekstil dan produk agrikultur, sedangkan Ekspor Serbia ke Indonesia termasuk Mesin, Bahan Kimia, dan Alat-alat Kesehatan.
Trend peningkatan angka perdagangan bilateral RI-Serbia yang cukup signifi kan terus berlanjut. Total angka perdagangan pada bulan Januari-Oktober 2014 tercatat sebesar USD 10,56 juta atau meningkat 325,80% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2013, yaitu sebesar USD 2,48 juta. Hal ini menunjukkan defi sit di pihak RI sebesar USD 4,06 juta. Meski demikian, masih terdapat peluang besar untuk meningkatkan transaksi perdagangan bilateral mengingat besarnya minat pengusaha Serbia terhadap komoditas produk ekspor RI, seperti karet dan minyak sawit.

c.     Bidang Sosial Budaya
Salah satu capaian utama dalam kerja sama sosial budaya RI-Serbia di bidang sosial-budaya adalah partisipasi Indonesia sebagai country partner untuk International Fair of Tourism di Beograd 27 Februari-2 Maret 2014, yang merupakan kegiatan pameran wisata terbesar di kawasan Eropa Tenggara dan Eropa Timur. Dalam pameran yang diikuti oleh 1.100 perusahaan dari 46 negara tersebut, RI telah mempromosikan 16 tujuan wisata dan tujuh kegiatan khusus untuk wisatawan yang berlokasi di luar Bali. Selain itu, Ketua Arsip Nasional RI (ANRI) dan Tim juga telah berkunjung ke Belgrade.
Pada tanggal 18-21 September 2014 dalam rangka tindak lanjut kerja sama di bidang kearsipan dengan Arsip Yugoslavia-Republik Serbia (AJRS). Dalam kunjungan ditandatangani kesepakatan Working Plan on Archives Cooperation Period 2013-2016 yang fokus utamanya untuk mewujudkan dokumentasi sejarah Gerakan Non Blok (GNB) sebagai salah satu Memory of the World UNESCO. Rencana ini diharapkan dapat terealisasi pada tahun 2016. Kolaborasi akademisi Serbia juga telah menghasilkan peluncuran buku Yugoslavia-Indonesia from 1945- 1967 yang ditulis bersama oleh Prof Ljubodrag Dimic (Guru Besar Fakultas Filosofi -Universitas Beograd), Dr. Aleksandar Rakovic (Ketua Asosiasi Nusantara) dan Mr. Miladin Milosevic (Direktur Arsip Yugoslavia).
Indonesia mencatat bahwa kerjasama bidang pendidikan menunjukkan hal yang menggembirakan. Sebagai implementasi penandatanganan MoU Kerjasama Pendidikan dan Pelatihan Diplomat kedua negara tahun 2003, pihak RI  telah mengundang diplomat Serbia untuk mengikuti pelatihan Diplomat Madya selama 1 (satu) bulan dan Pelatihan Bahasa Indonesia untuk Diplomat Asing  pada tahun 2010. Selain itu juga Pemri setiap tahun memberikan program beasiswa ”Darmasiswa” kepada para pelajar Serbia. Pada tahun 2007 peserta dari Serbia berjumlah 8 orang, tahun 2008 (8 orang), tahun 2009 (3 orang) serta tahun 2010 (10 orang).
Salah satu peluang kerja sama yang akan dilaksanakan oleh kedua negara dalam waktu dekat adalah penyelenggaraan interfaith dialogue pada 4-6 April 2011 di Beograd, Serbia. Dialog ini merupakan tindak lanjut hasil pertemuan Menlu RI dan Menlu Serbia dalam kesempatan Non Aligned Movement Ministerial Meeting Focus on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace di Manila pada Maret 2010. (Sumber. Dit. Ertengtim)

Analisa Peluang dan Tantangan Hubungan antara Indonesia dan Serbia

a.     Peluang
Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Pemerintah Serbia agar memperluas akses pasar produk Indonesia di negara itu. "Indonesia mengharapkan akses pasar bagi produk-produk kita dapat diperluas," kata Presiden Jokowi saat melakukan pernyataan pers bersama Presiden Serbia Tomislav Nikoli yang berkunjung ke Istana Merdeka Jakarta, Rabu.
Presiden Jokowi mengatakan bahwa tren perdagangan kedua negara meningkat secara signifikan yakni 85 persen dalam lima tahun terakhir. Oleh karena itu, Indonesia ingin agar hambatan tarif dan nontarif juga diharapkan dapat diturunkan atau bahkan dihilangkan. "Investasi Indonesia terus menunjukkan peningkatan di Serbia terutama investasi produk makanan. Dan Presiden Serbia telah menyampaikan dukungannya terhadap investasi Indonesia di Serbia," katanya.
Presiden Jokowi mengatakan kunjungan Presiden Serbia merupakan kehormatan tersendiri bagi Indonesia karena merupakan kunjungan pertama seorang kepala negara Serbia ke Indonesia setelah 58 tahun. Menurut dia, Indonesia dan Serbia mempunyai ikatan sejarah yang kuat karena kedua negara mempunyai peran yang sangat penting bagi cikal bakal lahirnya gerakan Nonblok. "Hari ini kita tadi membahas peningkatan kerja sama yang konkret kerja sama yang nyata yang dapat dikembangkan oleh kedua negara," katanya. 

*Saya meniadakan referensi guna menghindari plagiarisme*

Selasa, 30 Mei 2017

Overview Ekonomi Politik Negara-Negara Asia Timur: Republik Rakyat China (RRC)

         


         Sejarah Perekonomian China
Pada 1978, China merupakan salah satu negara termiskin di dunia. Pendapatan Domestik Bruto (PDB) riil per kapita China hanya seperempat dari PDB Amerika Serikat dan sepersepuluh dari Brazil. Hal ini di sebabkan karena China mengalami krisis pangan yang berulang sebelum tahun 1978. Maka tidak heran jika reformasi perekonomiannya di mulai dari sektor pertanian. Deng Xiaoping sebagai Ketua Komisi Penasihat Pusat PKC telah menjadi tokoh sentral dalam usaha modernisasi di China.[1] Deng terkenal dengan gagasan-gagasan yang berciri pragmatis. Reformasi dan keterbukaan yang di tetapkan pada sidang pleno ke-3 Komite Sentral PKC ke XI Desember 1978, sasaran utamanya adalah mewujudkan cita-cita empat modernisasi (si ge xiandaihua) yang sebelumnya di canangkan oleh Zhou Enlai seorang Perdana Menteri RRC.
Prinsip dasar program yang di motori Deng Xiaoping adalah zou ziji de lu atau “berjalan di atas jalan sendiri”, yang kemudian terus dikembangkan menjadi konsep yang di sebut zhongguo te se de shihui zhuyi atau “sosialisme dengan karakteristik China”.[2] Reformasi China dimulai dengan sektor pertanian. Pertama, pemerintah menaikkan harga barang pertanian. Kedua, “sistem pertanian kolektif” yang sebelumnya dijalankan di ganti menjadi “household responsibility system”. Di bawah sistem baru ini, setiap rumah tangga tani di beri kuota tetap biji-bijian yang harus di jual kepada pemerintah dengan harga resmi. Namun, setiap tambahan biji-bijian yang di hasilkan rumah tangga tani bisa di jual dengan harga pasar.
Reformasi ini dilaksanakan secara bertahap dan selesai pada tahun 1984. Antara tahun 1978 dan 1984 produktivitas total faktor di sektor pertanian tumbuh 5,62 % per tahun. Beberapa penelitian berpendapat bahwa sebagian besar pertumbuhan produktivitas selama periode ini dapat dikaitkan dengan harga dan reformasi institusional yang menghasilkan efek insentif positif terhadap upaya petani dan pilihan pendapatannya. Namun demikian, produktivitas pertanian maupun transformasi struktural mengalami stagnasi pada pruh kedua tahun 1980-an. Mulai sekitar tahun 1990, pasar untuk pemasukan dan pengeluaran pertanian secara bertahap di liberalisasi dan intervensi pemerintah berkurang secara signifikan.[3]
Selanjutnya, kongres ke-15 Partai Komunis China yang diadakan pada tahun 1997 menjadi salah satu tonggak sejarah dalam kebijakan ekonomi China moderen. Kongres secara formal menyetujui reformasi kepemilikan perusahaan milik negara dan juga melegalkan pengembangan perusahaan swasta. Dengan berkurangnya hambatan hukum, perusahaan swasta tumbuh pesat. Perusahaan-perusahaan kolektif yang berada dalam pedesaan, lambat laun di tutup dan beberapa di antaranya di privatisasi. Sebagai bagian dari keikut sertaannya dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001, Pemerintah China mulai memangkas tarif, memperluas hak perdagangan, dan meliberalisasi rezimnya untuk Foreign Direct Investment (FDI). Antara tahun 1998 dan 2007, pangsa total lapangan kerja perkotaan di perusahaan swasta dalam negeri meningkat dari 8 menjadi 24 persen. Kenaikan sektor manufaktur malah lebih terasa. Pada tahun 2007, perusahaan swasta dalam negeri menyumbang 51 persen dari total lapangan kerja.[4]
Dengan populasi 1,3 miliar, China saat ini menjadi kekuatan ekonomi kedua terbesar dunia dan semakin berperan penting dalam pembangunan dan ekonomi global. Namun, China tetap menjadi negara berkembang, hal ini dikarenakan pendapatan per kapita masih kalah dengan negara-negara maju dan reformasi pasarnya tidak lengkap. Menurut standar kemiskinan China saat ini pendapatan bersih pedesaan per kapita sebesar RMB 2.300 per tahun pada harga konstan 2010. Ada 55 juta orang miskin di daerah pedesaan pada tahun 2015. Kemunculan ekonomi yang cepat juga membawa banyak tantangan, termasuk ketidaksetaran yang tinggi, urbanisasi yang cepat, tantangan terhadap kelestarian hidup, dan ketidakseimbangan eksternal, seperti tingginya pertumbuhan demografis dan migrasi tenaga kerja.[5]

         Sistem Perekonomian China
Reformasi ekonomi yang dilakukan China tepat pada saat dimana negara-negara Asia Timur seperti Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan mengalami pertumbuhan ekonomi yang bisa dikatakan sukses. Penelitian terhadap keberhasilan peningkatan pada pertumbuhan ekonomi di negara-negara Asia Timur tersebut terdiri dari tiga pilar: reformasi agrikultur, manfatur ekspor, dan represi finansial.[6] Keberhasilan pilar-pilar ini kemudian diadopsi China pada era Mao meskipun memiliki perbedaan dalam dua hal, yaitu China lebih mengandalkan BUMN dan perluasan peran foreign direct investment (FDI) dimana hal ini tidak terjadi pada negara-negara Asia Timur saat itu.[7]
Pada pelaksanaan ekonomi politik China, kita harus melihat individu dan struktur birokrasi yang ada pada pemerintahan China. China merupakan negara birokrat-otoriter, peran institusi dalam pembentukan arah kebijakan ekonomi cukup besar. Tetapi, dalam sistem politik China, peran otoritas personal pemimpin lebih besar dari semua otoritas yang ada. Negara lain secara umum memiliki proses pembuatan kebijakan luar negeri dengan top-level strategy yang dirancang oleh Presiden atau Perdana Menteri, kemudian diimplementasikan oleh Menteri Keuangan dan stakeholders lainnya. Lain halnya dengan pembuatan kebijakan ekonomi China yang cenderung rumit untuk digambarkan. Pada dasarnya, pembuatan segala kebijakan China adalah tersentral/terpusat dengan peran besar birokrat partai dan pemerintah China.[8]
 Meskipun demikian, sentralitas Pemerintah China secara formal tidak sepenuhnya diaplikasikan karena pada praktiknya yang terjadi adalah desentralisasi pada setiap pemerintahan lokal. Desentralisasi pada kasus China bisa diartikan secara kuantitatif dan kualitatif. Ukuran mudah dari aspek kuantitatif adalah proporsi keuntungan fiskal dan pengeluaran daerah diambil alih oleh pemerintah lokal. Meski mereka mendapatkan keuntungan yang signifikan, namun, pemerintah lokal memiliki sedikit otoritas resmi dalam mengatur kebijakan pajak atau bunga pajak mereka. Tidak seperti negara lain, di China, beijing menentukan bentuk pajak apa saja yang dapat diterapkan atau tidak dan juga mengatur bagaimana keuntungan dapat dibagikan dengan merata.

         Dinamika Perekonomian China
Pada abad ke-21, pengaruh China pun semakin signifikan, baik dalam kancah perpolitikan maupun perekonomian global. Hal ini sangatlah dipengaruhi oleh integrasi perekonomian China ke dalam perekonomian global. Justin Yifu Lin dalam artikelnya tahun 2011 berjudul China And The Global Economy mendeskripsikan laju pertumbuhan ekonomi China.
Reformasi ekonomi 1970-an membantu China dalam melakukan perubahan struktural ekonomi. Struktur ekonomi yang tadinya didominasi oleh sektor agrikultur kini lebih ke arah ekonomi yang mengandalkan sektor industri dan jasa. Sejak reformasi ekonomi mulai diterapkan tahun 1979, China mulai menunjukkan tanda-tanda akan pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat. Hal ini dibuktikan dengan rata- rata pertumbuhan ekonomi sebesar 9% dalam periode 1979 hingga 1990. Pada periode 1990-an, China terus berhasil mempertahankan tren pertumbuhan ekonomi yang tinggi, hampir tidak terpengaruh oleh krisis finansial Asia.[9]
Sejak diperkenalkannya reformasi ekonomi, ekonomi China tumbuh jauh lebih cepat daripada pada periode pra-reformasi, dan, sebagian besar, telah menghindari gangguan ekonomi yang besar. Dari tahun 1979 sampai 2014, GDP riil tahunan China rata-rata hampir 10% Ini berarti, rata-rata, China telah mampu melipatgandakan ukuran ekonominya secara riil setiap delapan tahun. Perlambatan ekonomi global, yang dimulai pada tahun 2008, mempengaruhi ekonomi China (terutama sektor ekspor). Pertumbuhan PDB riil China turun dari 14,2% di tahun 2007 menjadi 9,6% di tahun 2008, dan melambat menjadi 9,2% di tahun 2009. Sebagai tanggapan, Pemerintah China menerapkan kebijakan untuk menstimulasi ekonomi domestik.
Langkah-langkah ini mendorong investasi dan konsumsi domestik dan membantu mencegah perlambatan ekonomi yang tajam di China. Dari tahun 2009 sampai 2011, pertumbuhan PDB riil China rata-rata 9,6%. Perekonomian China telah melambat dalam beberapa tahun terakhir - pertumbuhan PDB riil turun dari 10,4% di tahun 2010 menjadi 7,8% di tahun 2012, menjadi 7,3% pada tahun 2014. IMF memproyeksikan bahwa pertumbuhan GDP riil China akan melambat menjadi 6,8% pada tahun 2015 dan menjadi 6,3% di tahun 2016.[10]
Pada 1990, perekonomian China hanya mencakup 1,6% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dunia, dan 19 tahun kemudian, ekonomi China merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia dan telah mencakup 8,6 % dari PDB dunia. Pada 2014, ukuran perekonomian China telah mencapai setengah dari perekonomian Amerika Serikat. Padahal pada 2 dekade sebelumnya, perekonomian Amerika Serikat berukuran 15 kali lipat perekonomian China. Dengan posisi ekonomi terbesar nomor dua di dunia (mulai dari 2009), China diprediksi akan menggeser Amerika Serikat dari segi PDB nominal (dalam miliar dolar AS) pada 2026 dan mampu mempertahankan posisinya sebagai ekonomi terbesar dunia hingga 2050.[11]
Kedudukan China yang kukuh dalam perekonomian global ini membuat dunia internasional bertanya-tanya. Apa faktor yang membuat China dapat menjadi seperti itu? Menurut Martin Jacques, ia menyebutkan bahwa faktor paling penting di balik kekuatan ekonomi China dalam perekonomian global tidak lain adalah perdagangan internasional China. Faktanya adalah, ekspansi perdagangan internasional China merupakan produk hasil dari kebijakan export oriented growth pemerintah China, yang meliputi kebijakan nilai tukar dan kebijakan suportif lainnya yang memfasilitasi perdagangan, investasi, dan transaksi finansial.[12]
Dalam kurun waktu 10 tahun, China mampu menyalip Amerika Serikat dari segi ekspor. Hal ini tidaklah mengejutkan mengingat Amerika mulai menunjukkan tanda-tanda stagnasi pertumbuhan. ekonomi sejak akhir abad 20. Hal ini semakin diperparah oleh adanya efek dari krisis finansial global pada 2008, yang hampir saja mendorong Amerika ke dalam situasi layaknya Great Depression pada 1929. China telah berhasil menjadi pasar tujuan ekspor/asal impor dengan market share yang besar di banyak negara. Hal ini menunjukkan orientasi China untuk terus membuka pasar baru di berbagai belahan dunia.
Misalnya, dalam periode 2003- 2012, jumlah perdagangan total negara-negara Afrika secara keseluruhan dengan China berhasil mengungguli jumlah perdagangan Afrika dengan negara/kawasan lainnya, hal ini dibuktikan dengan China mengukuhkan kedudukannya sebagai mitra dagang terbesar dari Afrika pada 2011.[13]
Dengan keaktifan China sebagai pengekspor dan negara yang ingin mengukuhkan kedudukannya di berbagai region, China tidak diam di situ saja. Pemerintah China juga terlibat dalam bentuk kesepakatan perdagangan bilateral dengan negara-negara lain. Bergabungnya China dengan World Trade Organization (WTO) pada 2001 semakin menegaskan maksud China untuk menciptakan suatu hegemoni ekonomi global. Jelas, China berusaha untuk melihat kawasan mana yang memiliki potensi ekonomi yang dapat memberikan manfaat bagi perekonomian China secara berkelanjutan.
Pada akhirnya, perekonomian China yang semakin besar tentunya akan membawa implikasi-implikasi baru bagi perekonomian global, khususnya terhadap kestabilan perekonomian di kawasan-kawasan regional di sekitar China. Contohnya adalah ASEAN. Pertumbuhan ekonomi ASEAN merupakan salah satu yang paling stabil di dunia. Jika perekonomian negara-negara ASEAN dijumlahkan, maka perekonomian tersebut adalah perekonomian terbesar ketujuh di dunia, dengan nilai PDB sebesar 2,4 triliun dolar AS pada 2013.[14] Hal ini kemudian menjadikan ASEAN sebagai mitra dagang nomor 5 terbesar bagi China dengan nilai transaksi perdagangan pada 2013 mencapai 68 miliar dolar AS, atau sebesar 14% dari total perdagangan ASEAN.[15]

One Belt One Road
One Belt One Road (OBOR) merupakan konsep Jalur Sutra Baru Cina diumumkan pertamakali dalam pidato Presiden Xi Jinping di dalam kunjungannya ke Kazakhstan dan ditegaskan kembali dalam KTT Shanghai Cooperation Organization (SCO) pada tahun 2013. Hal ini merupakan momen pertama kalinya seorang pemimpin Cina menjelaskan visi strategisnya. Xi Jinping mempresentasikan proposal yang terdiri dari 5 poin utama untuk membangun bersama “Sabuk Ekonomi Jalur Sutra Baru” (the New Silk Road Economic Belt). Salah dua dari tujuan pembentukan OBOR adalah memperkuat fasilitas perdagangan, dengan fokus pada penghapusan halangan dagang (trade barriers) dan mengambil langkah mengurangi biaya perdagangan dan investasi. Kemudian, tujuan lainnya adalah untuk  memperkuat kerjasama keuangan, dengan perhatian khusus pada penyelesaian mata uang yang dapat mengurangi biaya transaksi dan mengurangi risiko finansial sambil meningkatkan ekonomi yang kompetitif.[16]
Gagasan Jalur Sutra Baru dimunculkan berdasarkan fakta bahwa ekonomi domestik Cina mengalami perubahan struktural yang merefleksikan “keadaan normal baru” dari pelambatan ekonomi, yang membawa dampak ekonomi signifikan bagi kawasan Asia. Lebih penting lagi, hal ini merupakan sinyal perubahan dalam strategi dan kebijakan luar negeri Cina dengan prioritas utama pada hubungan dengan negara-negara tetangga.[17] Hal ini menjadi salah satu dinamika perekonomian China yang pada akhirnya akan menstimulasi peningkatan kegiatan ekonomi China.

          Peluang dan Tantangan Ekonomi China
    a.     Peluang
China merupakan sebuah negara komunis yang memiliki tingkat perekonomian yang sampai saat ini tetap bertahan dengan ideologinya. China memang memiliki cara yang berbeda dalam pemerintahan komunis dibanding negara lain. Seperti kekuasaan absolut yang tidak hanya dimiliki oleh satu maupun beberapa keluarga elite (oligarki). China era modern juga tidak terlalu diktator seperti era pemerintahan Mao yang mengatur keseluruhan hingga kepada individu. Sebenarnya China sekarang bukan tidak mengatur individu namun pemerintah mengatur mereka melalui media. Akan tetapi di samping itu China masih fleksibel terhadap kebebasan untuk para rakyat itu sendiri. Sehingga kestabilan politik secara komunis itu, memudahkan China pula dalam mengatur ekonominya. Apabila kita melihat dari keseluruhan sistem ekonomi politik China dengan pondasi domestik yang kuat tentu saja hal ini menentukan bahwasanya system luar negeri China yang akan baik. Pada tahun 50-an pasca perang dunia kedua China masih sebagai negara dengan kemajuan teknologi yang rendah dibanding negara tetangganya seperti Jepang Korea Selatan dan Taiwan.[18]
Penulis melihat alasan mengapa China berhasil menjadi negara komunis maju dibanding Uni Soviet memiliki dua poin penting. Pertama, China berhasil mengembangkan ekonominya secara pesat sehingga tidak muncul kesulitan domestic maupun kebencian terhadap pemerintah, kedua China tidak terlalu kaku dalam ideology. Terakhir, China tidak terlalu memaksakan monopoli pemerintah dalam ekonomi. Lalu keberhasilan-keberhasilan tersebut yang membuka peluang China sebagai negara ekonomi maju.
     Dari segi naiknya ekonomi, GDP China sejak tahun 2000 an meningkat secara pesat.  China menduduki peringkat ketiga dunia dalam penghasilan GDP setelah Amerika Serikat dan Uni Eropa[19] pada tahun 2016.  Di samping itu banyak negara yang berinvestasi seperti persoalan Raja Salman yang berinvestasi sebesar Rp. 891 Triliun untuk investasi minyak karena hubugannya dengan Amerika Serikat semakin tidak baik.[20] Penguatan kerjasama ekonomi China dengan sejumlah negara di Asia Pasifik, Asia Tenggara, Asia Selatan dan beberapa negara Afrika yang menunjukkan China telah menebar pengaruhnya sebagai negara ekonomi kuat di kawasan dan di luar kawasan.[21] China sekarang menjadi negara pengekspor barang dan jasa untuk negara-negara di dunia. Seperti, Jepang yang mengimpor barang dari China sebanyak 27% dari total keseluruhan Impor untuk negaranya, Amerika Serikat sebesar 22%, India 18%  dan Jerman sebesar 10%. Dalam pengertian lain China dapat disebut sebagai pengekspor barang maupun jasa tersebsar di hampir semua negara-negara ekonomi maju.[22] China juga menjadi negara paling berpengaruh di BRICS sebuah organiasi ekonomi multinasional yang diperkirakan akan menggantikan G7.
     Dari data yang saya sajikan di atas mulai dari kestabilan politiknya yang baik, serta pengaruh ekonominya di negara-negara maju di dunia memungkinkan membuat China sebagai negara ekonomi terbesar di dunia. Alasannya, China dengan sistem komunis yang masih mengatur kendali ekonominya namun tetap fleksibel terhadap sistem ekonomi liberal membuat China tidak mudah jatuh seperti yang terjadi pada Uni Soviet. Selain itu, dalam analisa saya, setelah banyaknya negara yang membangun investasinya di China serta penguatan pengaruh China sendiri yang tidak hanya di kawasan Asia dan Afrika namun juga di Amerika Latin[23], membuat saya yakin dalam beberapa tahun kedepan China dapat menjadi negara ekonomi paling maju di dunia. Walaupun dalam data statistik China masih dibawah Amerika Serikat dari GDP serta pertambahan perkapita China yang hanya di angka 6497 USD[24] (termasuk rendah untuk negara maju). Pada lain hal, saya tidak dapat menafikkan masih banyak kekurangan China dari banyak sektor termasuk mengenai kesejahteraan rakyat China maupun tantangan mereka dalam mengendalikan pasar untuk kedepannya. Hal itu akan lebih diperjelas pada bab tantangan.
     b.    Tantangan
Saat ini, pertumbuhan ekonomi Cina merupakan yang tercepat di dunia. Dari tahun 1979 dan setelah Cina menjadi anggota WTO pada tahun 2001 sampai 2007, gross domestic product (GDP) Cina tumbuh dengan rata-rata di atas 9 persen pertahun dengan GDP nyata pada tahun 2007 sebesar 11,4 persen. Meskipun begitu, Cina tetap menghadapi banyak tantangan akibat meningkatnya kejahatan korupsi, ketergantungan pada ekspor dan pertumbuhan investasi tetap, melebarnya disparitas pendapatan, serta meningkatnya inflasi. Atas hal tersebut, pemerintah Cina telah menyatakan akan berusaha menciptakan masyarakat harmonis (harmonious society) dengan harapan akan menambah keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan isu-isu sosial. Tantangan lain yaitu urbanisasi dan pertumbuhan manusia China yang masif seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat.
Pertumbuhan ekonomi Cina didominasi oleh dua hal, yaitu perdagangan dan investasi. Dari tahun 2004 sampai 2007, nilai total perdagangan barang-barang Cina meningkat hampir dua kali lipat. Pada tahun 2007, untuk pertama kalinya nilai total ekspor Cina sebesar 1.218 miliar dolar melebihi nilai total ekspor Amerika Serikat sebesar 1.162 miliar dolar. Lebih dari setengah perdagangan Cina dikuasai oleh perusahaan-perusahaan asing yang berada di Cina. Kombinasi dari besarnya surplus perdagangan, arus investasi asing langsung (foreign direct investment), dan pembelian mata uang asing dalam jumlah yang sangat besar, telah membantu menjadikan Cina sebagai negara pemegang cadangan devisa terbesar di dunia, yakni sebesar 1,9 triliun dolar pada akhir September 2008.[25] Dengan terjadinya reformasi ekonomi, perencanaan ekonomi yang terpusat di Cina telah dibatasi, yaitu dengan mengembangkan mekanisme ekonomi pasar dan mengurangi peran pemerintah. Pemerintah Cina mengembangkan struktur ekonomi rangkap, yaitu dari sistem ekonomi sosialisme dengan perencanaan ekonomi terpusat menuju sistem ekonomi sosialisme pasar (sistem ekonomi pasar dengan karakter sosialisme).[26]
Mulai awal abad ke-21, Cina nampaknya menghadapi ancaman militer yang nyata, terutama ancaman militer dari AS.[27] Cina mengartikan kekuatan ancaman atas keamanan nasionalnya dalam pemahaman yang komprehensif. Hal tersebut berarti ancaman yang datang dari dalam negeri merupakan segala-galanya dan ancaman yang datang dari luar selalu dilihat dalam konteks yang menyulitkan keamanan dalam negeri.[28] Satu-satunya ancaman yang dianggap potensial dan komprehensif adalah langkah-langkah AS yang dianggap melakukan intervensi terhadap urusan dalam negeri Cina, maka Cina setiap tahun selalu meningkatkan kekuatan dan kemampuan militernya untuk mengantisipasi risiko ancaman perang modern. Kekuatan militer tersebut juga untuk mengawal momentum strategis dalam upaya mewujudkan masyarakat Cina yang sejahtera melalui reformasi ekonomi untuk menjadi negara maju.
Dalam mewujudkan hal tersebut, Cina perlu unggul dalam kekuatan militer yang diperlukan untuk memelihara kondisi damai yang berkelanjutan dan dalam lingkungan internal maupun internasional yang kondusif. Oleh karena itu, meminjam istilah David Shambaugh, dalam tulisannya yang berjudul Pattern of Interaction in Sino-American Relations, pola hubungan Cina-AS digambarkan seperti siklus love and hate relationship karena dipengaruhi oleh adanya perbedaan kepentingan kedua negara yang dilatarbelakangi oleh perbedaan sistem nilai, stereotip, sistem ekonomi dan politik, sejarah, dan lain sebagainya.[29]

           Kesimpulan
China saat ini menjadi salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi yang masif. Sejarah membuktikan bahwa dedikasi pemimpin China dalam membangun serta komitmen masyarakat dalam memperbaiki nasib bangsa telah membuahkan hasil yang luar biasa. Dinamika ekonomi China merupakan contoh yang sesungguhnya bisa ditiru oleh negara-negara yang mengidamkan transformasi ekonomi. China memiliki dinamika yang baik. Dinamika inipun tidak akan berhenti sampai di sini saja. China semakin melebarkan sayapnya ke berbagai kawasan, tidak hanya kawasan di sekitarnya saja. Hal ini membuat ekonomi China sangat terjamin bahkan hingga 30 tahun ke depan. Meskipun demikian, peluang yang dimaksimasimalisasi tentu tidak lepas dari tantangan-tantangan yang dihadapi pemeintah China. Peluang dan tantangan ini yang kemudian harus disikapi pemerintah China agar dapat memanajemen stabilitas ekonomi politik China.



*Saya meniadakan informasi referensi untuk menghindari plagiarism*

Rabu, 24 Mei 2017

Journal Review : Steve Tsang, ‘The U.S. Military and American Commitment to Taiwan’s Security’ (Asian Survey : University of California Press, 2012)


Ringkasan Bacaan
Determinasi dari Pemerintah Republik Rakyat Tiongkok di bawah Chinese Communist party (CCP) untuk membawa masuk Taiwan atau Republic of China menjadi salah satu daerah di bawah naungan pemerintahan Tiongkok. Bagi Partai Komunis tersebut, permasalahan Taiwan merupakan isu yang menyangkut kedaulatan serta integritas negara, karena itu, isu Taiwan merupakan salah satu fokus permasalahan yang harus di selesaikan oleh pemerintahan Tiongkok. Pemerintahan Tiongkok sejauh ini lebih memilih untuk menggunakan jalan diplomasi pasif dalam rangka menekan pemerintahan Taiwan untuk menyetujui unifikasi tersebut, namun, tidak menutup kemungkinan Tiongkok akan menggunakan ancaman maupun jalan kekerasan militer. Penolakan secara keras bagi hampir seluruh elemen dari pihak Taiwan dikhawatirkan dapat memicu scenario dengan menggunakan jalan kekerasan militer oleh Pemerintah Tiongkok.

Rabu, 15 Maret 2017

Mahasiswa Magang di KBRI Laos


Aku seringkali mendengar nama Laos sejak belajar tentang negara-negara di ASEAN. Tidak ada sedikit pun bayangan untuk pergi ke Laos, apalagi tinggal selama 1 bulan. Ya, Aku memutuskan untuk Magang di KBRI untuk Laos yang bertempat di Vientiane selama 1 bulan. Aku akan menceritakan pengalamanku magang di KBRI Laos karena banyak pertanyaan mengenai ini, kalau kalian yang memiliki keinginan magang di luar negeri, Yuk simak ceritaku! 😄

Rabu, 01 Maret 2017

LIBERALISASI PASAR DAN PERKEMBANGAN SOSIO-EKONOMI LAOS




Pendahuluan
Laos merupakan landlocked country dengan luas wilayah sebesar 236,800 kilometer, dari 17 provinsi 2/3 wilayah Laos merupakan pegunungan, terutama di bagian utara. Keadaan geografis ini menyebabkan adanya kesulitan dalam melakukan pengembangan ekonomi, sosial, infrastruktur, transportasi, dan jaringan komunikasi (Phimphanthavong 2012). Namun, keterbatasan-keterbatasan ini tidak membuat pemerintah Laos berdiam diri. Laos dikenal sebagai salah satu dari lima negara di dunia yang masih mempertahankan sistem komunis. Sebagai negara komunis dengan sistem partai tunggal, Laos menganut sistem pasar terbuka sejak 1986 yang dikenal dengan New Economic Mechanism (NEM) serta bergabungnya Laos dengan AFTA pada 1997dan WTO pada 2013. 

Pemerintah Laos melakukan beragam usaha untuk menyejahterakan masyarakat dengan salah satu tujuannya yaitu untuk mengentaskan kemiskinan. Keikutsertaan Laos dalam beragam organisasi perdagangan menunjukkan progresivitas pemerintah dalam mendukung liberalisasi perdagangan. Hal ini pula sesuai dengan 8th National Socio-Economic Development Plan (NSEDP) 2016-2020. Seperti dua mata piasu, liberalisasi perdagangan yang dilakukan Laos memiliki dampak positif dan negatif serta implikasi langsung ataupun tidak langsung terhadap kehidupan sosial-ekonomi maysarakatnya. (Bounthone, 2011)

Liberalisasi Ekonomi dan Ekonomi Liberal
Liberalisasi Ekonomi merupakan jalan menuju tatanan Ekonomi Liberal. Dalam pelaksanaannya, ekonomi liberal yang berbentuk model pasar memiliki konsekwensi logis yaitu interaksi penawaran dan permintaan di dalamnya bisa diprediksi –secara logika. Pertama, pemanfaatan penuh seluruh sumber daya dan produksi. Kedua, kecenderungan untuk mengurangi keuntungan dengan harga kompetitif. Ketiga, memaksimalisasi alokasi sumber daya (alam, manusia, modal) yang ada. Milton Friedman (1912-2006) berpendapat bahwa konsekwensi model pasar yang ada hanya bisa dilakukan dalam keadaan bebas dan dalam keadaan masyarakat demokratis. (O’Keohane, 1989)

Namun, tidak seperti apa yang dikatakan Milton Friedman tentang perlunya kebebasan dan masyarakat demokratis, John Maynard Keynes mengatakan bahwa perekonomian pasar merupakan keuntungan, tetapi juga diikuti dengan keburukan potensial atas, “bahaya ketidakpastian dan kebodohan.” Berdasarkan alasan ini Keynes berpendapat bahwa situasi ini dapat diperbaiki melalui manajemen publik yang lebih baik dengan diatur oleh negara.(Jackson & Sorensen, 2009)

Liberalisasi Ekonomi Laos
Laos berkeinginan untuk membebaskan diri dari status Negara Kurang Berkembang (Least Development Country/LDC) pada tahun 2020. Laostelah membuka pintu untuk investor asing dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara cepat. Hal ini terlihat dari banyaknya pembangunan di berbagai aspek dan masuknya produk-produk asing. Dalam National Social-Economic Development Plan (NSEDP) ke-7 periode 2011-2015, Pemerintah Laos menargetkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 8%. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan dana sebesar US$ 15.81 miliar yang sumbernya didapatkan dari 12% anggaran pemerintah, 26% Official Development Assistance (ODA) dan 56% investasi asing (FDI).

Bagaimanapun juga, Laos harus memenuhi kretaria yang sudah ditetapkan oleh PBB apabila hendak lepas dari status Least Development Countries (LDC) pada 2020. Kriteria tersebut terdiri dari ketetapan Gross National Income (GNI) lebih dari US$2000, Human Assets Index (HAI) sebesar 66 persen atau lebih, dan Economic Vulnerability Index (EVI).Laos saat ini belum mencapai ketiga kriteria tersebut, GNI, HAI, dan EVI Laos belum mencapai syarat ketentuan. HAI merupakan gabungan dari presentasi populasi masyarakat kekurangan gizi, kematian anak di bawah usia 5 tahun, rasio anak berpendidikan rendah, dan Adult Literacy Rate. Sedangkan data yang ditampilkan pada laporan pemerintah tidak sesuai dengan kenyataan lapangan yang dipaparkan oleh salah seorang petugas UNDP di pedalaman salah satu Provinsi di Laos. EVI Laos juga belum mencukupi kriteria yang termasuk di dalamnya jumlah populasi, akses wilayah, dan struktur ekonomi yang dilihat dari aspek tertentu. Hal ini menjadi fokus pemerintah untuk terus meningkatkan perekonomian sehingga dapat memenuhi kriteria-kriteria tersebut.

Laos memang memiliki peningkatan perekonomian dari berbagai sektor yang tercatat dalam 8th Five-Year National Socio-Economic Development Plan (2016-2020) Kementerian Perencanaan dan Investasi. Dalam proses liberalisasi ekonomi, tentu saja Laos memiliki potensi untuk mencapai target lepas dari predikat LDC pada 2020.Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa pembangunan yang ada belum mencakup seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sehingga, pembangunan yang diharapkan belum berjalan sesuai harapan.

Description 7th NSEDP targets 
Actual 2010-11   Actual 2011-12 Actual 2012-13     Actual 2013-14     Actual 2014-15
GDP growth (%) 104,000 62,458 70,343 80,199 90,823 102,320
Agriculture Forestry (%) 23.0 27.9 26.7 25.2 24.8 23.7
Industry (%) 39.0 26.9 29.6 28.2 27.5 29.1
Services (%) 38.0 45.2 43.7 46.8 47.7 47.2

Dari data yang ditampilkan di atas, bisa dilihat bahwa sektor jasa semakin meningkat. Hal ini menunjukan bahwa Laos seharusnya dapat lebih terbuka dengan berpindah dari simple economies (agrikultur), menuju complex economy (industri/jasa). Liberalisasi ekonomi yang dilakukan Pemerintah Laos sudah memberikan ‘angin segar’ bagi perekonomian dalam maupun luar negeri. Namun, terdapat keburukan potensial dari liberalisasi ekonomi yang ‘membayangi’ perekonomian Laos itu sendiri. Menurut saya, Laos belum merasakan secara penuh konsekuensi liberalisasi ekonomi yang dimaksudkan Friedman. Bukan karena Laos tidak demokratis, melainkan Pemerintah Laos tidak dapat melakukan perbaikan melalui manajemen publik seperti yang dikonsepkan Keynes.

Pertumbuhan produktivitas di Laos dibatasi oleh beragam faktor seperti, sumber daya manusia, kurangnya infrastruktur, dan lain-lain (Sewraj, 2007). Berdasarkan hasil temuan di lapangan, negara ini hanya menunjukan sedikit perhatiannya pada layanan publik, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, air, sanitasi, dan sistem peradilan yang efektif. Apalagi ada temuan ‘kecacatan’ pada tubuh birokrasi yang tidak dapat ditindak tegas akibat sistem cenderung melindungi pemerintah. Proyek investasi di Laos menghancurkan lingkungan, yang merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat dan pedesaan dan sumber utama makanan bagi mereka. Ketidakcukupan pangan, korupsi, ketidakmerataan dan kesulitan migrasi semakin bertambah, dan hidup menjadi semakin sulit bagi masyarakat umum.

Kerjasama Ekonomi Laos – Indonesia
Dalam rangka melepaskan diri dari status LDC pada 2020, Laos telah meliberalisasi pasar dan banyak melakukan kerjasama ekonomi dengan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno L Marsudi melakukan kunjungan kehormatan kepada Perdana Menteri Laos Thongsing Tammavong di Vientiane pada 27 Januari 2017. Pada pertemuan tersebut, Kedua Perwakilan Negara membahas beberapa isu bilateral, antara lain penguatan kerja sama perdagangan dan investasi, perlindungan pekerja migran, dan hubungan antarmasyarakat.

Indonesia dan Laos telah menjalin hubungan diplomatik selama hampir enam dekade, sejak 30 Agustus 1957. Kerja sama perdagangan antara Indonesia dan Laos sejauh ini masih sangat terbatas. Nilai perdagangan bilateral pada 2015 hanya mencapai 7,71 juta dolar AS, dengan surplus bagi Indonesia.Selain itu, hubungan perdagangan juga sebagian dilakukan melalui pihak ketiga.Untuk itu, kedua negara berupaya mencari cara agar perdagangan bilateral dapat ditingkatkan di masa mendatang, antara lain melalui promosi perdagangan.Kedua negara memiliki hubungan perdagangan dengan total nilai perdagangan pada 2014 mencapai US$55,80 juta.

Komoditi ekspor utama Indonesia ke Laos, antara lain alat-alat dan aksesoris kendaraan, elektronik dan pakaian jadi. Sementara itu, impor Indonesia dari Laos mencakup tembakau, kopi, dan aluminium. Selain itu, investasi Indonesia di Laos pada 2014 mencapai US$1,1 juta.Di bidang kerja sama teknis, selama 10 tahun terakhir (2004-2014) terdapat 188 peserta dari Laos yang mengikuti 89 kegiatan program kerja sama teknis di Indonesia dalam skema kerja sama triangular, seperti pelatihan di bidang tata kelola pemerintahan yang baik, UKM dan pariwisata. (Media Indonesia, 2016)

Laos juga merupakan salah satu negara yang telah menerima program beasiswa Indonesia. Sebanyak 13 orang peserta dari Laos telah mengikuti skema program beasiswa seni dan budaya untuk periode 2003-2015, dan sebanyak 61 orang peserta juga telah bergabung dalam program darmasiswa untuk periode 1974-2015. (Antara News, 2016) Dengan segala kerjasama antardua negara ini, Laos juga akan semakin memiliki ‘bekal’untuk mencapai kelulusan dan terlepas dari status LDC pada 2020. Sejauh ini, Pengusaha Indonesia masih sulit untuk masuk ke pasar Laos dikarenakan beberapa faktor, yaitu salah satu faktornya adalah sulitnya akses masuk seperti tidak adanya penerbangan langsung sehingga harus melewati beberapa perbatasan darat negara tetangga. 


Kesimpulan dan Saran
Laos memiliki potensi untuk mencapai target terbebas dari predikat LDC pada 2020. Namun apabila melihat situasi dan kondisi di lapangan, masih terjadi kesenjangan dan tidak ada usaha nyata pemerintah untuk memperbaiki birokrasi yang ada.Perbaikan dan fokus yang dikerjakan hanya pada sektor tertentu, bukan pada sektor pembangunan sumber daya manusia yang seharusnya diprioritaskan.Apabila diperhatikan dengan saksama,strategi pemerintah dalam melakukan liberalisasi ekonomi tidak hanya memiliki dampak positif melainkan membawa dampak negatif.Strategi pemerintah yang agresif untukmendatangkan para investor asing dan tidak tepat sasaran. Menurut saya, hal ini bisa membahayakan kehidupan sosial, lingkungan hidup, danekonomi Laos sendiri, terlebih lagi bagi tempat-tempat yang akan digantikan oleh konsensilahan ekonomi, bendungan-bendungan, dan berbagai mega proyek lainnya. 
Laos dengan sistem komunis yang mereka anut, seharusnya dapat menghantarkan masyarakatnya menuju kemakmuran karena Pemerintah lebih leluasa mengatur segala aspek kehidupan masyarakat. Jadi, liberalisasi ekonomi hanya akan berhasil apabila pemerintah berani untuk memperbaiki sistem manajemen publik dan mempertegas pelaksanaan hukum dan birokrasi. Investor asing tentunya melihat situasi dan stabilitas perpolitikan ketika hendak menanamkan modalnya di Laos, maka hendaknya birokrat dan pemerintash Laos memperbaiki sistem birokrasi yang ada demi tercapainya cita-cita terlepas dari status LDC pada 2020. Apabila dalam kurun waktu 4 tahun pemerintah tidak dapat menyediakan layanan publik dan sistem birokrasi yang baik, menurut saya Laos akan sulit lepas dari status LDC pada 2020. 


*Sumber disembunyikan agar tidak ada praktik plagiarisme*